Koleksi Foto bugil terlengkap, Foto bugil Tante Girang, Foto Bugil Pelajar, Foto Bugil Jilbab, Gambar Memek, Video XXX, Cerita Sex, Foto Bugil Terbaru, Foto Bugil 2014, Video Bokep Indo, Jepang, Barat, Video Streaming
|
WARNING : THIS SITE CONTAINS ADULT
CONTENT, MAKE SURE YOUR AGE ABOVE 18+
YEARS
Aku adalah anak tunggal. Ibuku
adalah seorang wanita yang
disiplin dan agak keras sedangkan
ayahku kebalikannya bahkan bisa
dikatakan bahwa ayah di bawah
bendera ibu. Bisa dikatakan ibulah
yang lebih mengatur segala-
galanya dalam keluarga. Namun,
walaupun ibu keras, di luar
rumah aku termasuk cewek
bandel dan sering tukar-tukar
pacar, tentunya tanpa
sepengetahuan ibuku. Tapi suatu
saat, pada saat aku duduk di kelas
2 SMA, ibuku pergi mengunjungi
nenek yang sakit di kampung. Dia
akan tinggal di sana selama 2
minggu. Hatiku bersorak. Aku
akan bisa bebas di rumah. Tak
akan ada yang memaksa-maksa
untuk belajar. Aku juga bebas
pulang sore. Kalau Ayah, yah.. dia
selalu kerja sampai hampir
malam.
Pulang sekolah, aku mengajak
pacarku, Anton, ke rumah. Aku
sudah beberapa kali mengadakan
hubungan kelamin dengannya.
Tetapi hubungan tersebut tidak
pernah betul-betul nikmat. Selalu
dilakukan buru-buru sehingga aku
tidak pernah orgasme. Aku
penasaran, bagaimana sih
nikmatnya orgasme?
Singkat cerita, aku dan Anton
sudah berada di ruang tengah.
Kami merasa bebas. Jam masih
menunjukkan angka 3:00
sedangkan ayah selalu pulang
pukul enam lewat. So, cukup
waktu untuk memuaskan berahi.
Kami duduk di sofa. Anton
dengan segera melumat bibirku.
Kurasakan hangatnya bibirnya.
"Ah.." kurangkul tanganku ke
lehernya. Ciumannya semakin
dalam. Kini lidahnya yang
mempermainkan lidahku.
Tangannya pun mulai bermain di
kedua bukitku. Aku benar-benar
terangsang. Aku sudah bisa
merasakan bahwa vaginaku
sudah mulai basah. Segera
kujulurkan tanganku ke perut
bawahnya. Aku merasakan
bahwa daerah itu sudah bengkak
dan keras. Kucoba membuka
reitsleting celananya tapi agak
susah. Dengan segera Anton
membukakannya untukku. Bagai
tak ingin membuang waktu,
secara bersamaan, aku pun
membuka kemeja sekolahku
sekaligus BH-ku tapi tanpa
mengalihkan perhatianku pada
Anton. Kulihat segera sesudah CD
Anton lepas, senjatanya sudah
tegang, siap berperang.
Kami berpelukan lagi. Kali ini,
tanganku bebas memegang
burungnya. Tidak begitu besar,
tapi cukup keras dan berdiri
dengan tegangnya. Kuelus-elus
sejenak. Kedua telurnya yang
dibungkus kulit yang sangat
lembut, sungguh menimbulkan
sensasi tersendiri saat kuraba
dengan lembut. Penisnya
kemerah-merahan, dengan kepala
seperti topi baja. Di ujungnya
berlubang. Kukuakkan lubang
kecil itu, lalu kujulurkan ujung
lidahku ke dalam. Anton
melenguh. Expresi wajahnya
membuatku semakin bergairah.
"Ah.." kumasukkan saja batang
itu ke mulutku. Anton melepaskan
celana dalamku lalu
mempermainkan vaginaku
dengan jarinya. Terasa sentuhan
jarinya diantara kedua bibir
kemaluanku. Dikilik-kiliknya
klitorisku. Aku makin bernafsu.
Kuhisap batangnya. Kujilati kepala
penisnya, sambil tanganku
mempermainkan telurnya dengan
lembut. Kadang kugigit kulit
telurnya dengan lembut.
"Nit, pindah di lantai saja yuk,
lebih bebas!"
Tanpa menunggu jawabanku, dia
sudah menggendongku dan
membaringkanku di lantai
berkarpet tebal dan bersih.
Dibukanya rok abu-abuku, yang
tinggal satu-satunya melekat di
tubuhku, demikian juga
kemejanya. Sekarang aku dan dia
betul-betul bugil. Aku makin
menyukai suasana ini. Kutunggu,
apa yang akan dilakukannya
selanjutnya. Ternyata Anton naik
ke atas tubuhku dengan posisi
terbalik, 69. Dikangkangkannya
pahaku. Selanjutnya yang
kurasakan adalah jilatan-jilatan
lidahnya yang panas di
permukaan vaginaku. Bukan itu
saja, klitorisku dihisapnya, sesekali
lidahnya ditenggelamkannya ke
lubangku. Sementara batangnya
tetap kuhisap. Aku sudah tidak
tahan lagi.
"Ton, ayo masukin saja."
"Sebentar lagi Nitt."
"Ah.. aku nggak tahan lagi, aku
mau batangmu, please!"
Anton memutar haluan. Digosok-
gosokannya kepala penisnya
sebentar lalu.. "Bless.." batang itu
masuk dengan mantap. Tak perlu
diolesi ludah untuk
memperlancar, vaginaku sudah
banjir. Amboy, nikmat sekali.
Disodok-sodok, maju mundur..
maju mundur. Aku tidak tinggal
diam. Kugoyang-goyang juga
pantatku. Kadang kakiku
kulingkarkan ke pinggangnya.
Tiba-tiba, "Ah.. aku keluar.."
Dicabutnya penisnya dan
spermanya berceceran di atas
perutku.
"Shit! Sama saja, aku belum puas,
dia sudah muntah," rungutku
dalam hati.
Tapi aku berpikir, "Ah, tak
mengapa, babak kedua pasti ada."
Dugaanku meleset. Anton
berpakaian.
"Nit, sorry yah.. aku baru ingat.
Hari ini rupanya aku harus latihan
band, udah agak telat nih," dia
berpakaian dengan buru-buru.
Aku betul-betul kecewa.
"Kurang ajar anak ini. Dasar egois,
emangnya aku lonte, cuman
memuaskan kamu saja."
Aku betul-betul kecewa dan
berjanji dalam hati tak akan mau
main lagi dengannya. Karena
kesal, kubiarkan dia pergi. Aku
berbaring saja di sofa, tanpa
mempedulikan kepergiannya,
bahkan aku berbaring dengan
membelakanginya, wajahku
kuarahkan ke sandaran sofa.
Kemudian aku mendengar suara
langkah mendekat.
"Ngapain lagi si kurang ajar ini
kembali," pikirku. Tapi aku
memasang gaya cuek. Kurasakan
pundakku dicolek. Aku tetap cuek.
"Nita!"
Oh.. ini bukan suara Anton. Aku
bagai disambar petir. Aku masih
telanjang bulat.
"Ayah!" aku sungguh-sungguh
ketakutan, malu, cemas,
pokoknya hampir mati.
"Dasar bedebah, rupanya kamu
sudah biasa main begituan yah.
Jangan membantah. Ayah lihat
kamu bersetubuh dengan lelaki
itu. Biar kamu tahu, ini harus
dilaporkan sama ibumu."
Aku makin ketakutan, kupeluk
lutut ayahku, "Yah.. jangan Yah,
aku mau dihukum apa saja, asal
jangan diberitahu sama orang lain
terutama Mama," aku menangis
memohon.
Tiba-tiba, ayah mengangkatku ke
sofa. Kulihat wajahnya makin
melembut.
"Nit, Ayah tahu kamu tidak puas
barusan. Waktu Ayah masuk,
Ayah dengar suara-suara
desahan aneh, jadi Ayah jalan
pelan-pelan saja, dan Ayah lihat
dari balik pintu, kamu sedang
dientoti lelaki itu, jadi Ayah intip
aja sampai siap mainnya."
Aku diam aja tak menyahut.
"Nit, kalau kamu mau Ayah
puasin, maka rahasiamu tak akan
terbongkar."
"Sungguh?"
Ayah tak menjawab, tapi
mulutnya sudah mencium
susuku. Dijilatinya permukaan
payudaraku, digigitnya pelan-
pelan putingku. Sementara
tangannya sudah menjelajahi
bagian bawahku yang masih
basah. Ayah segera membuka
bajunya. Langsung seluruhnya.
Aku terkejut. Kulihat penis ayahku
jauh lebih besar, jauh lebih
panjang dari penis si Anton. Tak
tahu aku berapa ukurannya, yang
jelas panjang, besar, mendongak,
keras, hitam, berurat, berbulu
lebat. Bahkan antara pusat dan
kemaluannya juga berbulu halus.
Beda benar dengan Anton. Melihat
ini saja aku sudah bergetar.
Kemudian Aku didudukkannya di
sofa. Pahaku dibukanya lebar-
lebar. Dia berlutut di hadapanku
lalu kepalanya berada diantara
kedua pangkal pahaku. Tiba-tiba
lidah hangat sudah menggesek ke
dalam vaginaku. Aduh, lidah
ayahku menjilati vaginaku. Dia
menjilat lebih lihai, lebih lembut.
Jilatannya dari bawah ke atas
berulang-ulang. Kadang hanya
klitorisku saja yang dijilatinya.
Dihisapinya, bahkan digigit-gigit
kecil. Dijilati lagi. Dijilati lagi. "Oh..
oh.. enak, Yah di situ Yah, enak,
nikmat Yah," tanpa sadar, aku
tidak malu lagi mendesah jorok
begitu di hadapan ayahku. Ayah
"memakan" vaginaku cukup
lama. Tiba-tiba, aku merasakan
nikmat yang sangat dahsyat,
yang tak pernah kumiliki
sebelumnya.
"Oh.. begini rupanya orgasme,
nikmatnya," aku tiba-tiba merasa
lemas. Ayah mungkin tahu kalau
aku sudah orgasme, maka
dihentikannya menjilat lubang
kewanitaanku. Kini dia berdiri,
tepat di hadapan hidungku,
penisnya yang besar itu
menengadah. Dengan posisi,
ayah berdiri dan aku duduk di
sofa, kumasukkan batang ayahku
ke mulutku. Kuhisap, kujilat dan
kugigit pelan. Kusedot dan
kuhisap lagi. Begitu kulakukan
berulang-ulang. Ayah ikut
menggoyangkan pantatnya,
sehingga batangnya terkadang
masuk terlalu dalam, sehingga
bisa kurasakan kepala penisnya
menyentuh kerongkonganku.
Aku kembali sangat bergairah
merasakan keras dan besarnya
batang itu di dalam mulutku. Aku
ingin segera ayah memasuki
lubangku, tapi aku malu
memintanya. Lubangku sudah
betul-betul ingin "menelan"
batang yang besar dan panjang.
Tiba-tiba ayah menyeruhku
berdiri.
"Mau main berdiri ini," pikirku.
Rupanya tidak. Ayah berbaring di
sofa dan mengangkatku ke
atasnya.
"Masukkan Nit!" ujar Ayah.
Kuraih batang itu lalu kuarahkan
ke vaginaku. Ah.. sedikit sakit dan
agak susah masuknya, tapi ayah
menyodokkan pantatnya ke
depan.
"Aduh pelan-pelan, Ayah."
Lalu berhenti sejenak, tapi batang
itu sudah tenggelam setengah
akibat sodokan ayah tadi.
Kugoyang perlahan. Dengan
perlahan pula batang itu semakin
masuk dan semakin masuk.
Ajaibnya semakin masuk,
semakin nikmat. Lubang vaginaku
betul-betul terasa penuh. Nikmat
rasanya. Karena dikuasai nafsu,
rasa maluku sudah hilang.
Kusetubuhi ayahku dengan rakus.
Ekspresi ayahku makin
menambah nafsuku. Remasan
tangan ayahku di kedua
payudaraku semakin
menimbulkan rasa nikmat.
Kogoyang pantatku dengan irama
keras dan cepat.
Tiba-tiba, aku mau orgasme, tapi
ayah berkata, "Stop! Kita ganti
posisi. Kamu nungging dulu."
"Mau apa ini?" pikirku.
Tiba-tiba kurasakan gesekan
kepala penis di permukaan
lubangku kemudian.. "Bless.."
batang itu masuk ke lubangku.
Yang begini belum pernah
kurasakan. Anton tak pernah
memperlakukanku begini, begitu
juga Muklis, lelaki yang
mengambil perawanku. Tapi
yang begini ini rasanya selangit.
Tak terkatakan nikmatnya.
Hujaman-hujaman batang itu
terasa menggesek seluruh liang
kewanitaanku, bahkan hantaman
kepala penis itupun terasa
membentur dasar vaginaku, yang
membuatku merasa semakin
nikmat. Kurasakan sodokan ayah
makin keras dan makin cepat.
Perasaan yang kudapat pun
makin lama makin nikmat. Makin
nikmat, makin nikmat, dan makin
nikmat.
Tiba-tiba, "Auh..oh.. oh..!"
kenikmatan itu meladak. Aku
orgasme untuk yang kedua
kalinya. Hentakan ayah makin
cepat saja, tiba-tiba kudengar
desahan panjangnya. Seiring
dengan itu dicabutnya penisnya
dari lubang vaginaku. Dengan
gerakan cepat, ayah sudah berada
di depanku. Disodorkannya
batangnya ke mulutku. Dengan
cepat kutangkap, kukulum dan
kumaju-mundurkan mulutku
dengan cepat. Tiba-tiba kurasakan
semburan sperma panas di
dalam mulutku. Aku tak peduli.
Terus kuhisap dan kuhisap.
Sebagian sperma tertelan olehku,
sebagian lagi kukeluarkan, lalu
jatuh dan meleleh memenuhi
daguku. Ayah memelukku dan
menciumku, "Nit, kapan-kapan,
kalau nggak ada Mama, kita main
lagi yah." Aku tak menjawab.
Sebagai jawaban, aku
menggelayut dalam pelukan
ayahku. Yang jelas aku pasti mau.
Dengan pacarku aku tak pernah
merasakan orgasme. Dengan
ayah, sekali main orgasme dua
kali. Siapa yang mau menolak?
Sesudah itu asal ada kesempatan,
kami melakukannya lagi.
Sementara mama masih sering
marah, dengan nada tinggi,
berusaha mengajarkan disiplin.
Biasanya aku diam saja, pura-
pura patuh. Padahal suaminya,
yang menjadi ayahku itu, sering
kugeluti dan kunikmati. Beginilah
kisah permainanku dengan
ayahku yang pendiam, tetapi
sangat pintar di atas ranjang.