Koleksi Foto bugil terlengkap, Foto bugil Tante Girang, Foto Bugil Pelajar, Foto Bugil Jilbab, Gambar Memek, Video XXX, Cerita Sex, Foto Bugil Terbaru, Foto Bugil 2014, Video Bokep Indo, Jepang, Barat, Video Streaming
|
WARNING : THIS SITE CONTAINS ADULT
CONTENT, MAKE SURE YOUR AGE ABOVE 18+
YEARS
Kepulan asap dari sebatang rokok
ketengan menemani lamunanku
siang itu. Deru kendaraan lalu lalang
di antara alunan lagu dangdut dari
TV pemilik warteg di mana aku
menumpang duduk sambil ngopi
tak mampu menggugah pikiranku
yang melayang entah kemana.
“Ngelamun aja lo, kangen bini ya?’’,
tegur Bejo, rekan sesama tukang
ojek tempat kami bersama mangkal.
Aku hanya membalas dengan
senyuman. “ Bu...kopi satu,’’
ujarnya kepada pemilik warung.
“Catur , Den?”
ujarnya.”halah...bosen, dari pagi
main sama si Ujang, entar situ kalah
lagi”, Bejo hanya nyengir
mendengar jawabanku. Siang ini
memang pikiranku tengah galau,
mengenang peristiwa tadi malam
dan pagi hari ini.
Aku tinggal menumpang mertua di
sebuah rumah sederhana di
kampung perbatasan jakarta. Kami
berasal dari keluarga dengan
ekonomi pas-pasan. Isteriku
terpaksa menjadi TKI di Arab Saudi
untuk memperbaiki keadaan.
Motor kreditan yang aku pakai untuk
mengojek ini juga hasil jerih
payahnya.Kondisi mertua juga
sama saja, ayah isteriku adalah
tukang bangunan yang lebih sering
keliling dari satu proyek ke proyek
lain daripada dirumahnya sendiri,
kadang berbulan-bulan tidak pulang.
Bapak, demikian aku
memanggilnya, dulu sangat keras
menolak pernikahan kami, ya wajar,
sudah susah kok dapat mantu yang
juga susah. Sementara ibu mertua
kebalikannya, ia sosok ibu yang
lembut dan baik hati. Mau
bagaimana lagi kalau memang
sudah jodohnya. Dulu aku sempat
bekerja di pabrik sebelum akhirnya
bangkrut dan aku kena PHK.
Pernikahan kami menghasilkan
seorang anak usia 2,5 tahun yang
kini diasuh neneknya, ibu mertuaku.
Malam itu hujan sangat deras
menghujam bumi. Aku tengah
lesehan di atas tikar lusuh menonton
TV ketika tiba-tiba ibu mertua
tergopoh-gopoh keluar dari
kamarnya menuju kamar mandi ,
lalu terdengar suara seperti orang
muntah. Aku menyusulnya,’’ada
apa Bu? Masuk angin?, ia
mengangguk lemah. “Saya
panggilkan Teh Nining sebelah ya
bu? Tawarku. “Gak usah, den, gak
enak udah malam begini...mana
hujan lagi”, jawabnya. “kalau gitu
saya bikinin teh panas ya bu, saya
juga masih punya obat neh”, ibu
mengangguk lalu berjaan menuju
kamarnya. Setelah mengantarkan
teh dan obat flu, kembali aku
berbaring di ruang tamu sederhana
itu sampai akhirnya aku terlelap.
Jam dinding kusam itu menunjukan
pukul 1.30 malam ketika aku
mendadak terbangun karena
kembali ibu muntah-muntah di
kamar mandi. Dengan segera aku
menyusulnya,’’Ibu muntah lagi?”,
tanyaku...ia mengangguk lemah dan
berkata ‘’, Ibu kalau belum dikeroki
biasanya belum mempan, tapi mau
bagaimana lagi,’’ jawabnya pasrah.
Entah muncul ide darimana,’’ ya
udah, biar saya yang ngeroki bu,
ibu tunggu aja di kamar’’, jawabku
dan ibu sepertinya tidak menolak
kecuali ia menginginkan muntah-
muntah lagi. Aku bergegas menuju
dapur, mencari piring kecil alas gelas
dan menumpahkan sedikit minyak
goreng, tinggal 1 koin seratusan
lama yang kebetulan aku masih
menyimpan beberapa. Agak sedikit
kaget setibanya aku di kamar,
mendapati ibu telah berganti pakaian
yang semula daster panjang kini
kain kemben batik yang warnanya
telah lusuh. Namun bukan itu yang
membuat aku menelan ludah, tapi
kemben sebatas dada itu telah
menampakan bahu ibu yang
ternyata kuning bersih, ditambah
ketatnya kain itu menampakan lekak
lekuk tubuhnya yang masih
menampakan keindahan di usianya
yang 45 tahun itu. Namun pikiran
kotor segera kusingkirkan,
bagaimanapun ia adalah orang tua
isteriku yang harus kuhormati.
Mulailah aku mengeroki
punggungnya dalam posisi ibu
duduk membelakangiku di atas
ranjang tua di mana anakku juga
tengah tertidur di atasnya. Selesai,di
bagian pangkal leher dan bahunya,
kini gilirang punggung bagian
tengah,”maaf bu, kainnya bisa
diturunkan sedikit?’, pintaku karena
kain kemben itu menghalangi. Ibu
mengangguk pelan dan membuka
ikatan kain tersebut namun karena
kurang hati-hati kain itu melorot
hingga pantatnya yang dibungkus
celana dalam putih lusuh, dan yang
membuat sesuatu di balik celanaku
tak bisa diajak kompromi adalah
karena sekilas sisi payudaranya
terlihat. Ibu segera membenahinya
dan mendekap sarung batik itu
didadanya, dan aku seolah-olah tak
melihat pemandangan indah itu
kembali melanjutkan kerokan ku.
Peluh mulai bercucuran di dahi ku,
bukan hanya karena mengeluarkan
tenaga tetapi juga menahan hasrat
yang terpendam, setelah setahun
berlalu tanpa sentuhan isteriku.
Paling maksimal aku hanya bisa
melakukan masturbasi untuk
sekedar pelampiasan. “Ibu kalau
capek, baring aja”, pintaku dan ibu
menuruti dengan berbaring
tengkurap sehingga aku bisa
melanjutkan mengeroki punggung
mulusnya itu, yang tampak
berkilauan terkena sinar redup
lampu kamar, belang-belang merah
bekas kerokan tak bisa
menghilangkan keindahannya.
Keringat dingin mulai keluar dari
pori-pori kulitnya. Aku terus bekerja
sampai kemudian kudengar
dengkuran halus keluar dari
mulutnya, ibu tertidur. Dan entah
kenapa aku tak serta merta
menghentikan kerokan, seolah-olah
ingin lebih lama menikmati
pemandangan sensual tubuhnya.
Khawatir ibu terbangun tiba-tiba, kini
aku hanya memijat-mijat pelan
pinggangnya...terus ke bawah
hingga tumpukan daging kenyal
pantatnya yang membusung itu.
Mula-mula tanganku gemetar,
namun menyadari ibu seolah-olah
kian tenggelam di alam mimpi, aku
makin memberanikan diri. Entah
setan mana yang mengendalikanku,
usai berlama-lama menjamah
pantatnya, kini kucoba pelorotkan
sarungnya ke bawah. Mataku nanar
menyaksikan bayangan belahan
pantatnya dibalik celana dalam lusuh
yang menipis akibat keseringan di
cuci itu, mana berlubang di sana-sini
menampakan kulit di belakangnya,
desakan batang kontolku kian
mendesak celana pendek yang
kupakai, menciptakan semacam
tenda kecil di antara selakanganku.
Dengan tangan gemetar ku
pelorotkan celana dalam ibu secara
perlahan, hubungan mertua-
menantu ke depan dipertaruhkan
dalam aksi nekat itu. Gerakanku
terhenti ketika tepi paling atasnya
tiba di pangkal paha ibu mertua
yang agak merapat itu. Tentu saja
bentuk pantat bahenol itu, bayangan
hitam lubang anusnya dan
tumpukan rambut hitam di
bawahnya membuat aku kehilangan
kontrol. Ku oleskan sebagian minyak
goreng itu di atas pantat ibu, sambil
meremas-remasnya, dan kini
berkilauan sebagaimana punggung
ibu tadi.
Dengan jantung berdegup, ku
turunkan celana pendekku, lalu
merangkap di atas tubuh tengkurap
ibu yang sangat nyenyak tertidur,
namun kuupayakan tidak
menindihnya. Ku selipkan batang
kemaluanku yang sedari tadi sangat
mengeras di antara belahan pantat
ibu, lalu mulai menggosok-
gosokannya pelan, sehati-hati
munkin agar ia tak terbangun. Tapi
sensasi yang kurasakan sangat luar
biasa, anda akan paham jika lama
tak merasakan kenikmatan tubuh
wanita. Mataku menyaksikan wajah
ibu yang damai dalam tidurnya, ia
cukup manis walau munkin jarang
tersentuh make up, ingin rasanya
kuciumi pipinya tapi tentu beresiko.
Dan tak menunggu lama ketika aku
mengejang lalu semburan demi
semburan sperma hangat ..dan
sangat banyak, hingga di pantat,
punggung, bahkan leher ibu. Lama
aku mematung hingga denyutan-
denyutan orgasmeku hilang dan
kemaluanku mulai mengerut. Baru
kemudian aku beranjak....kepanikan
kecil melandaku melihat lelehan
benihku di atas tubuh ibu. Ku
lepaskan kaus kumal yang kupakai,
dan kugunakan sebagai lap
menghilangkan jejak-jejak tindakan
mesum yang kulakukan malam itu.
Dengan terburu-buru kurapikan kain
kemben ibu, dan bergegas keluar
kamar. Usai dari kamar mandi
kembali kubaringkan tubuh,’’ apa
yang kau lakukan”, pikirku...namun
akhirnya terlelap juga....dengan rasa
puas.
Seperti biasa, pukul setengah enam
pagi aku terbangun, usai sekedarnya
membersihkan rumah, ku
sempatkan mengintip kamar ibu. Ia
masih tertidur, kain kembennya
sudah terikat di dada, namun agak
tersingkap di bagian paha, membuat
aku kembali menelan ludah. Di
sebelahnya, anakku telah terbangun,
tengah asyik memainkan
mobilannya sambil berbaring. Aku
kemudian mandi, sedikit tertegun
melihat kaus kumal tadi malam, lalu
aku mencucinya.
“Bu...ibu,”, panggilku mencoba
membangunkannya sambil sedikit
menepuk pundaknya. Matanya
mulai membuka. “Sudah jam
setengah delapan bu, ibu sudah
enakan?”..ia mengangguk pelan,’’
tapi masih lemas Den, linu-linunya
belum ilang, Ari mana?’’ tanya
Ibu.”Sedang main di luar bu, sudah
saya mandikan dan kasih sarapan,
tadi saya belikan bubur ayam di
depan, ibu sarapan ya?’’, jawabku
sambil menawarkan bubur ayam.
Ibu bangkit perlahan dan duduk di
tepi ranjang, semangkuk bubur dan
segelas teh kuletakan di atas meja
kecil di dekat ranjang. Aku
meninggalkannya. Dan tak lama
kemudian kembali aku memasuki
kamarnya dan menyerahkan obat,”
lho..kok gak habis bu?”, tanyaku
melhat bubur itu masih separuh
tersisa.”Masih pahit Den’’, jawabnya.
“Ya udah, ibu minum obat ...air
panas udah saya siapkan di kamr
mandi”, ibu lalu meminum obat
dengan perlahan...,”ibu masih pegal
Den, mau istirahat lagi, ntar aja deh
mandinya”, jawabnya.
“ehmm...kalau gitu saya kompres
aja ya bu”, tawarku...”gak usah
repot...”, belum usai kalimatnya aku
sudah setengah berlari ke dapur,
mengambil handuk kecil dan
baskom kecil lalu menuangkan air
hangat ke dalamnya.
Ibu sudah terbaring di kamar ketika
aku masuk. Aku mengambil kursi
kayu lalu duduk disampingnya,
meremas handuk dan mulai secara
lembut mengusap wajahnya. “Ibu
jadi gak enak nih Den, jadi
ngerepotin kamu”, katanya. “ah...ibu
kan sudah seperti ibu saya sendiri”,
jawabku sambil terus melapi leher,
pundak hingga dada atasnya. Lalu
kedua lengannya hingga ketiaknya
yang putih dan sedikit ditumbuhi
bulu itu, membuat senjata
biologisku mulai berulah. “Ibu bisa
tengkurap sebentar?”, pintaku pada
ibu. Namun ibu justeru duduk
membelakangiku untuk
mempermudah melapi
pungunggnya. Usai belakang leher
hingga bahu sampai batas
kain ,’’bisa turunin dikit kainnya bu?’’,
tanpa berkata-kata ibu melepaskan
ikatan sarungnya, dan kembali
kunikmati punggung yang kini
berbelang merah sampai batas
pinggang itu, dengan lembut ku
usap seluruh permukaan kulitnya
dengan handuk basah hangat tadi,
dan butiran keringat mulai muncul
dari pori-pori kulitnya. Aku hanya
bisa nyengir menyaksikan beberapa
bercak sprema kering yang
mengerak di kulit punggung ibu dan
segera ku lap.
Nafas ibu tampak teratur, kali ini
sasaranku bawah ketiak dan sisi
samping tubuh ibu. Kulihat kulitnya
bulu-bulu kuduknya keluar. Semakin
sulit aku mengatur nafas manakal
ujung jari ku menyentuh sisi
payudaranya. Dan seperti sengaja,
aku berlama-lama mengusapkan
handuk itu di situ...”Den..”,teguran
ibu menyadarkanku. Namun karena
ia tak menyuruhku berhenti, aku lalu
memindahkan usapan tanganku ke
bagian depan tubuh ibu, yaitu
perutnya yang masih tertutup
sarung. Dan ibu tidak protes. Mula-
mula bagian tengah, lalu bagian
atas...kucoba terus mendesak ke
atas dengan maksud menyentuh
bagian bawah payudaranya, namun
terhalang tangan ibu yang masih
mendekap sarung itu di dada. Lalu
kembali ke tengah perutnya..dan
bawah...terus ke bawah pusarnya,
sehingga sebagian jari ku tak
sengaja menyelip di bagian atas
celana dalamnya. Tangan ibu jatuh
ke bawah mencoba mencegah
aksiku lebih lanjut, namun munkin
karena panik membuat
payudaranya tersingkap, dan tak
membuang waktu masih dengan
handuk basah di tangan, ku usap-
usap perhiasan alami kaum wanita
itu, “Den..” seru ibu dengan suara
nyaris berbisik...”ssshhh, tenang
Bu” desisku menenangkan ibu yang
kini nafasnya mulai tersendat-
sendat. Aku belum melakukan
tindakan lebih jauh kecuali melap
dengan penuh kelembutan gunung
kembar yang bahkan lebih besar
dari punya isteriku itu, namun
degupan jantung dan deru nafasku
yang kian memacu sudah bisa
menggambarkan betapa luar
biasanya gairah yang ditimbulkan
tubuh ibu kandung isteriku itu.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan
ibu, yang aku tangkap hanya
kuduknya yang merinding, lalu
tubuhnya yang agak gemetar dan
deru nafasnya yang mulai tak
beraturan. Aku hanya bertindak
mengikuti naluri...naluri seorang pria
yang sekian lama tak merasakan
kehangatan tubuh wanita. Ibu
memegang kedua pergelangan
tanganku, ada sedikit upaya menarik
tanganku dari permukaan dadanya,
namun aku sudah kehilangan
kendali...handuk basah itu jatuh di
pangkuannya, dan kini telapak dan
jari jemariku mulai meremas-remas
gundukan daging kenyal itu dan
memilin-milin putingnya. Mulutku
mengecup belakang leher dan
pundak ibu. “Den....jangan”, ujarnya
lirih...ketika satu tanganku mencoba
masuk menyelusup celana
dalamnya, ia memegang
pergelangan tanganku yang
sayangnya sudah berada di atas
gundukan bulu-bulu hitam lebat di
bawah pusarnya. Dan pertahanan
moralku pun roboh, ku rebahkan
tubuh ibu dan mulai menindihnya,
ia melawannya dengan mencoba
mendorong tubuhku, namun tentu
saja apalah arti tenaga wanita
separuh baya dibanding pemuda
yang tengah terbakar
nafsu.”Den...jangan, aku ini ibu
mu...ibu mertua
mu..mmmff”..ucapannya terhenti
ketika kusumpal paksa mulutnya
dengan
mulutku...”mmmf...Den..mmmhh”,
tangannya terus meronta namun
kutangkap dan kurentangkan ke
atas...membuatku tergoda untuk
menciumi ketiaknya...” Den...apa
kata orang nanti...ini gak
bener..Den...ouhhf”, kembali
kulumat bibirnya dan pergelangan
tangannya ku tahan dengan satu
tangan karena sebelah tanganku
sibuk berupaya melepaskan celana
yang kupakai. Ibu mulai menangis
terisak, dan tubuhnya menggeliat-
geliat melakukan perlawanan namun
justeru menciptakan pemandangan
sensual yang kian menggoda. Dan
matanya membelalak dan kian panik
ketika dengan paksa kurenggut
celana dalamnya..”preekkk”, dan ia
melakukan perlawanan terakhir
dengan merapatkan kakinya, tetapi
terlambat...satu lututku telah berada
di antaranya, dengan paksa
kulebarkan kakinya...batang
kontolku sudah berada di antara dua
pahanya..mencari-cari sebentar
dan..kurasakan tumpukan bulu-bulu
di ujung kepala jamur kelaminku
itu...dan akhirnya menemukan
sasarannya...celah di antara
perbukitan rumput hitam itu, yang
ternyata...telah basah. Sehingga
dengan sedikit mudah benda
tumpul itu mulai mendesak
masuk....dan rasanya bahkan lebih
sempit dari rongga vagina
isteriku....apakah karena ibu juga
jarang disentuh bapak mertua?
Wajah ibu hanya meringis pasrah,
air matanya mengalir menemani
isakan dari mulutnya.”maafkan aku,
bu...aku sayang ibu, aku butuh ibu,
ibu juga kan?”, ujarku dengan
mesra di depan wajah ibu sambil
berusaha mengayun-ayunkan
pinggulku. Ibu hanya terisak dan
menggigit jarinya, dengan liar aku
mulai memompa tubuhnya...oh
luar biasa nikmatnya. Mula-mula
perlahan sampai makin cepat dan
ganas menyebabkan tubuh ibu dan
payudaranya berguncang-guncang,
sangat sayang jika disia-siakan,
maka segera kutangkap gunung
kembar yang tengah diguncang
gempa itu, dan kugigit ringan dua
pucuknya bergantian, membuat ibu
kian merintih.
Pagi itu suasana sejuk berubah
menjadi panas, tubuhku dan tubuh
ibu mulai dibanjiri keringat. Kamar
dengan cat mengelupas di sana sini
itu seolah-olah berubah menjadi
kamar pengantin yang indah, diiringi
deritan ranjang tua yang bergerak
dan suara kecipak dua kelamin
beradu. Ku tarik tangan ibu dari
mulutnya, ku lumat bibirnya yang
memerah
itu..”ouuhh..Den..mmmmf”,
lenguhnya membuat aku kian brutal
mengobrak-abrik liang
senggamanya, liang yang telah
menghadirkan istriku 25 tahun lalu
itu. Ibu setengah menjerit ketika
tiba-tiba dua kakinya dirangkulkan
erat-erat di atas pinggangku dan
kedua tangannya memeluk ketat
diriku...ia telah mengalami orgasme,
menyadari hal itu menimbulkan
sensasi tersendiri hingga tak
menunggu lama aku tak bisa lagi
menahan ejakulasi ku, semprotan
demi semprotan benih terlarang
bagai air bah menerjang setiap
sudut gua kenikmatan ibu mertuaku
itu. Aku rebah di atas tubuh
telanjang ibu, mencoba mengatur
nafas, dan ibu mengusap-usap
punggungku dan mengeramasi
rambutku. Sampai akhirnya aku
bangkit meninggalkan tubuh ibu dan
mencabut kelaminku dari jepitan
vaginanya. Dengan segera cairan
putih kental mengalir keluar dari
celah bibir kemaluannya,
menciptakan danau kecil di atas
sprei lusuh. Segera kusambar
handuk basah tadi, ku basuhkan ke
permukaan memek ibu dan sprei,
lalu kuusapkan pula ke sekujur
batang kontolku. Kemudian
menyusul berbaring di sisi ibu.
Mata ibu menerawang ke langit-
langit kamar tanpa plafon itu. Aku
menatap wajahnya yang masih
basah bekas sisa keringat dan air
mata. Dadanya naik turun
membawa serta dua gunung indah
di atasnya, membuatku tergoda
untuk menjamahnya. Ibu tidak
protes...”Den...kenapa kamu lakukan
itu, ini gak bener Den, ini dosa, apa
kata tetangga nanti? Apa kata
bapakmu? Apa kata Asih? Ujarnya
lirih. “Ma’afkan saya bu...saya khilaf,
saya lelaki normal bu, berpisah
setahun dari Asih itu sangat berat
buat saya bu..tapi mau bagaimana
lagi? Saya pasrah...seandainya ibu
mau mengusir saya silahkan, saya
titip Ari aja bu”, jawabku. Ibu
kembali menangis dan berujar..”ibu
gak akan ngusir kamu Den...kamu
telah baik selama ini membantu ibu,
ini salah ibu juga, ibu minta ini jadi
rahasia kita berdua Den”, “saya akan
jaga rahasia ini Bu”, jawabku pelan
sambil berupaya memeluknya, kali
ini ibu dengan pasrah meringkuk
dipelukanku dan menumpahkan
tangisan di dadaku sampai akhirnya
mereda, dan entah siapa yang
mendahului kembali bibir kami
saling berpagutan.
Tanganku mulai meremas-remas
payudara montok milik ibu,
sementara ibu dengan malu-malu
mengusap-usap batang penisku
yang kembali siap tempur.
Pertarungan ronde kedua kembali
dimulai. Menyadari ternyata ibu juga
memendam hasrat, kali ini setiap
adegan film-film porno yang biasa
aku lihat bersama tetangga,
kupraktekan. Aku bangkit
mengangkangi dada ibu, kuarahkan
batang penisku ke mulutnya, mula-
mula ia jengah menolak, namun
terus kupaksa, sampai akhirnya
agak terbatuk-batuk ia telan nyaris
seluruh batang kontolku. Aku tak
begitu bertindak memaksa khawatir
ia akan muntah-muntah lagi. Yang
penting sensasi bahwa aku
menguasai dirinya menjadi
kepuasan tersendiri. Ku putar
tubuhnya hingga membelakangiku,
ku susun dua tumpuk bantal di
bawah perutnya, sebelum
kusetubuhi dari belakang aku
melakukan ritual menjilati setiap mili
memeknya, membuat ibu kembali
merinding dan merintih-rintih.
Lalu...,’’jlebb’’...kembali batang
kontolku tenggelam dalam liang
senggama ibunda isteriku itu. Kali ini
ibu tak malu-malu mengeluarkan
suara rintihan nikmat. Pantat molek
itu mulai berguncang-guncang
akibat hentakanku. Tanganku segera
meraih gunung kembar yang kini
bergantung terayun-
ayun.”ouuh...Den...oohhh”, rintih
ibu menemani geramanku...tubuh
kami kembali berkilauan basah oleh
keringat. Ronde kedua ini lebih lama
berlangsung...ibu menghujamkan
wajahnya di bantal untuk meredam
suara pekikan ketika orgasmenya
tiba..bagaimana munkin wanita
sehangat ini bisa ditinggal ayah
mertua, pikirku. Capek melakukan
doggi style, kembali ku telentangkan
tubuh bugil ibu mertuaku itu,
pantatnya kembali kuganjal bantal
sehingga pinggulnya mendongak,
ku pentangkan lebar-lebar
selangkangan ibu, dan kulipat
lututnya hingga nyaris menyentuh
pundaknya...lalu satu tusukan
teramat dalam kembali dialami
lubang kemaluan ibu.
Ibu kembali mendesah-desah
menerima setiap hentakan demi
hentakan senjata biologis
milikku...dan sekali lagi ia mengalami
orgasme dahsyat yang tak
dirasakannya bertahun-tahun,
mengundang datangnya
orgasmeku pula yang sekali lagi
menyirami mulut rahimnya dengan
cairan benih potensial. Pagi itu
hubungan menantu-mertua telah
melanggar batas menjadi hubungan
terlarang sepasang kekasih yang
masing-masing masih terikat
perkawinan. Dan persetubuhan itu
kembali terjadi hingga aku
mengalami 5 kali orgasme,,,ibu
mertua? Tak terhitung malah.
Menjelang siang aku segera beranjak
keluar kamar yang kini beraroma
seks itu. Bagaimanapun aku harus
mencari nafkah, dari situlah aku bisa
membeli susu untuk anakku dan
kebutuhan sehari-hari yang
biasanya kuserahkan pada ibu
mertua.
Malam menjelang pukul sembilan
aku baru pulang. Ibu tengah
menonton TV menemani anakku
yang tengah bermain. Seutas
senyum kecilnya menyambut
kehadiranku. “Ibu udah sehat? ini
bu, buat belanja besok”, ujarku
seraya menyerahkan 3 lembar uang
10 ribuan. “Makasih...ibu udah
mendingan kok, Deni makan dulu
sana, ibu hanya beli makanan jadi
tadi siang, belum masak”,
jawabnya. Benar kata orang, sex
bisa jadi obat, pikirku seraya
menyambar handuk digantungan
dan menuju kamar mandi. Usai
makan malam, aku bangkit ke ruang
tengah. Ibu masih berbaring di
depan TV, sementara anakku sudah
tertidur di sampingnya. Ku angkat
dia dan kubaringkan di ranjang ibu.
Di luar kamar, tanpa basa basi lagi
kutindih tubuh ibu, ku lolosi daster
lusuhnya melewati kepalanya, lalu
beha dan celana dalamnya. Bibir
kami segera berpagutan. Kuremasi
setiap bagian indah lekuk tubuhnya,
payudara, pinggul, pantat...sambil
mencolokan dua jemariku di
vaginanya yang tanpa disuruh
sudah diselaputi cairan pelumas.
“oohh...Den....aahh...”, bagai
kepedasan ibu terus mendesah.
“Isap kontolku bu”, ujarku sambil
menariknya agar berlutut
dihadapanku..sulit dibayangkan
kata-kata tak pantas itu bisa keluar
dari mulutku terhadap seseorang
yang seharusnya aku
hormati .”mmmf ...mmmf..mff”,
ibu mulai mahir melakukan hisapan,
jilatan bak pelacur profesional.
Puas merasakan hangatnya
rongga mulut ibu, ganti aku
mengunyah, menghisap dan
menusuk-nusuk lubang memeknya
dengan lidah dan jemariku, pinggul
ibu bergerak kesana – kemari dan
mulutnya mulai ribut merintih,
khawatir didengar tetangga, segera
kuarahkan batang penisku ke
mulutnya, dalam posisi 69 kami
saling mengecap kemaluan masing-
masing hingga kami puas. Di atas
tikar lusuh itu, ibu dengan sadar
membuka lebar-lebar pahanya,
membuat celah vaginanya merekah
merah dan basah. Dan ia meringis
ketika kembali benda terlarang
memasuki tubuhnya.
“oooh...Den,”...”ibu...ahhhss”,
sekian menit kemudian di antara
rintihannya, ibu
berkata..”den...pindah yuk,
punggung ibu sakit kalau di sini”,
pintanya, aku mengangguk dan
mencabut kemaluanku. Ibu beranjak
berdiri hendak berjalan menuju
kamar, namun pinggangnya segera
kutangkap. Dari belakang kembali
kusetubuhi ibu, kutangkap sepasang
payudaranya yang montok itu.
Sambil kusetubuhi, ku dorong
tubuhnya agar berjalan, hingga
kami tiba di dalam kamar. Ibu
merangkak naik ke atas ranjang
tanpa batang kontolku
meninggalkan jepitan liang
senggamanya. Kembali ku hentak-
hentakan pinggulku hingga ranjang
tua itu berderit-derit, membuat apa
yang diatasnya berguncang-
guncang tak terkecuali anakku yang
tengah tidur dengan nyenyaknya.
Ibu menggigit jari mencegah
rintihan keras keluar dari mulutnya.
Beberapa lama kemudian kembali
kutelentangkan tubuhnya, dengan
otomatis ia membuka
pahanya...dan “blesss”,,,batang
penisku kembali amblas ditelan
rongga sempit,basah dan hangat
milik ibu. Ku rentangkan tangannya
ke atas, kuhirup dalam-dalam
aroma asli tubuh wanita setengah
baya yang masih sangat sensual itu.
Keringat kami kembali saling
melebur menjadi satu, deritan
ranjang tua itu mengiringi irama
bergesekannya dua kelamin dan
suara jangkrik di luar. Dan Ibu
menyembunyikan wajahnya di
dadaku ketika ia dilanda kepuasan
bathin hubungan terlarang malam
itu. Dan berkali-kali pula cairan
spermaku mengisi penuh rongga
memek ibu. Malam itu ibu
mengalami lebih 6 kali orgasme,
sedangkan aku sampai empat kali
hingga spermaku nyaris habis.
Bulan-bulan berikutnya hubungan
haram itu terus berlangsung. Dan
membawa konsekwensi
tumbuhnya benih yang kutanam.
Untunglah sebelum berkembang
leih besar, bapak mertua datang.
Walau membuatku begitu cemburu
ketika suatu malam ranjang tua
kamar ibu kembali berderit, bukan
karena ulahku, tapi bapak mertua.
Hingga sebulan kemudian bapak
mertua kembali dapat obyekan dan
meyakini istrinya hamil karena
dirinya. Setelah ia pergi, bisa ditebak.
Kembali ranjang tua itu berderit-derit
akibat persetubuhan aku dan ibu,
sampai menjelang anak kami lahir.