Koleksi Foto bugil terlengkap, Foto bugil Tante Girang, Foto Bugil Pelajar, Foto Bugil Jilbab, Gambar Memek, Video XXX, Cerita Sex, Foto Bugil Terbaru, Foto Bugil 2014, Video Bokep Indo, Jepang, Barat, Video Streaming
|
WARNING : THIS SITE CONTAINS ADULT
CONTENT, MAKE SURE YOUR AGE ABOVE 18+
YEARS
Malam itu tanggal 2 Juni 1999 sekitar
pukul 21.30. Aku di dalam mobilku
sedang keliling-keliling kota Jakarta.
Rencananya aku hendak meliput
persiapan kampanye partai-partai
yang katanya sudah ada di seputar
HI. Aneh, kampanye resminya
besok, tapi sudah banyak yang
bercokol di putaran HI sejak malam
ini. Kelihatannya mereka tidak mau
kalah dengan partai-partai lain yang
kemarin dan hari ini telah memanjat
patung selamat datang, memasang
bendera mereka di sana. Tercatat
pp, PND, PBB, PKB, PAN dan PK
telah berhasil. Dengan korban
beberapa orang tentu saja. Entah
apa yang dikejar mereka, para
simpatisan itu. Kebanggaan? Atau
sebuah ketololan. Kalau ternyata
mereka tewas atau cedera,
berartikah pengorbanan mereka?
Apakah para ketua partai itu kenal
sama mereka? Apakah pemimpin
partai itu menghargai kenekadan
mereka? Lho, kok aku bicara politik.
Biarinlah. Macam-macam saja ulah
mereka, maklumlah sudah saat
kampanye terakhir
buat partai-partai di Jakarta ini.
Di depan kedutaan Inggris aku
parkirkan mobilku, bersama banyak
mobil lainnya. Memang aku lihat ada
beberapa kelompok, masing-
masing dengan bendera partai
mereka dan atribut yang
bermacam-macam. Aku keluarkan
kartu persku, tergantung di leher.
Juga Nikon, kawan baik yang
menjadi sumber nafkahku. Aku
mendekati kerumunan simpatisan
partai. Bergabung dengan mereka.
Berusaha mencari informasi dan
momen-momen penting yang
mungkin akan terjadi.
Saat itulah pandanganku bertemu
dengan tatap mata seorang gadis
yang bergerombol dengan teman-
temannya di atap sebuah mini bus.
Wajahnya yang cantik tersenyum
kepadaku. Gadis itu memakai kaos
partai yang mengaku reformis,—
aku rahasiakan saja baiknya—yang
telah dipotong sedikit bagian
bawahnya, sehinggs seperti model
tank top, sedangkan bawahannya
memakai mini skirt berwarna putih.
Di antara teman-temannya, dia yang
paling menonjol. Paling lincah,
paling menarik.
“Mas, Mas wartawan ya?” katanya
kepadaku.
“Iya”.
“Wawancarai kita dong”, Salah
seorang temannya nyeletuk.
“Emang mau?”.
“Tentu dong. Tapi photo kita dulu…”
Nah darisinilah berawal cerita ini dan
kini ku koleksi dalam kenangan
sehingga menjadi Kumpulan Cerita
Dewasa
Mereka beraksi saat kuarahkan
kameraku kepada mereka. Dengan
lagak dan gaya masing-masing
mereka berpose.
“Kenapa sudah ada di sini, sih?
Bukankah ____ (nama partai) baru
besok kampanyenya?”.
“Biarin Mas, daripada besok dikuasai
partai lain?”.
“Memang akan terus di sini? Sampai
pagi?”.
“Iya, demi ____ (nama partai), kami
rela begadang semalaman.”
“Hebat.”
“Mas di sini aja, Mas. Nanti pasti ada
lagi yang ingin manjat tugu selamat
datang.” Kata gadis yang menarik
perhatianku itu.
Aku pun duduk dekat mereka,
berbincang tentang pemilu kali ini.
Harapan-harapan mereka,
tanggapan mereka, dan pendapat
mereka. Mereka lumayan loyal
terhadap partai mereka itu,
walaupun tampak sedikit kecewa,
karena pemimpin partai mereka itu
kurang berani bicara. Padahal
diproyeksikan untuk menjadi calon
presiden. Aku maklum, karena tahu
latar belakang pemimpin yang
mereka maksudkan itu.
“Eh, nama kalian siapa?” Tanyaku,
“Aku Ray.”
“Saya Diana.” Kata cewek manis itu,
lalu teman-temannya yang lain pun
menyebut nama. Kami terus
bercakap-cakap, sambil minum teh
botol yang dijual pedagang
asongan.
Waktu terus berlalu. Beberapa kali
aku meninggalkan mereka untuk
mengejar sumber berita. Malam itu
bundaran HI didatangi Kapolri yang
meninjau dan ‘menyerah’ melihat
massa yang telah bergerombol
untuk pawai dan kampanye, karena
jadwal resminya adalah pukul 06.00
– 18.00.
Saat aku kembali, gerombolan Diana
masih ada di sana.
“Saya ke kantor dulu ya,
memberikan kaset rekaman dan
hasil photoku. Sampai ketemu.”
Pamitku.
“Eh, Mas, Mas Ray! Kantornya
“x” (nama koranku), khan. Boleh
saya menumpang?” Diana berteriak
kepadaku.
“Kemana?”
“Rumah. Rumah saya di dekat situ
juga.”
“Boleh saja.” Kataku, “Tapi katanya
mau tetap di sini? Begadang?”
“Nggak deh. Ngantuk. Boleh ya? Gak
ada yang mau ngantarin nih.”
Aku pun mengangguk. Tapi dari
tempatku berdiri, aku dapat melihat
di dalam mini bus itu ada sepasang
remaja berciuman.
Benar-benar kampanye, nih? Sama
saja kejadian waktu meliput
demontrasi mahasiswa dulu. Waktu
teriak, ikutan teriak. Yang pacaran,
ya pacaran. (Ini cuma sekedar
nyentil, lho. Bukan menghujat.
Angkat topi buat gerakan
mahasiswa kita! Peace!)
Diana menggandengku. Aku
melambai pada rekan-rekannya.
“Diana! Pulang lho! Jangan malah…”
Teriak salah seorang temannya.
Diana cuma mengangkat tinjunya,
tapi matanya kulihat mengedip.
Lalu kami pun menuju mobilku.
Dengan lincah Diana telah duduk di
sampingku. Mulutnya berkicau
terus, bertanya-tanya mengenai
profesiku. Aku menjawabnya
dengan senang hati. Terkadang pun
aku bertanya padanya. Dari situ aku
tahu dia sekolah di sebuah SMA di
daerah Bulungan, kelas 2. Tadi ikut-
ikutan teman-temannya saja. Politik?
Pusing ah mikirinnya.
Usianya baru 17 tahun, tapi tidak
mendaftar pemilu tahun ini. Kami
terus bercakap-cakap. Dia telah
semakin akrab denganku.
“Kamu sudah punya pacar, belum?”
Tanyaku.
“Sudah.” Nadanya jadi lain, agak-
agak sendu.
“Tidak ikut tadi?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Lagi marahan aja.”
“Wah.., gawat nih.”
“Biarin aja.”
“Kenapa emangnya?”
“Dia ketangkap basah selingkuh
dengan temanku, tapi tidak
mengaku.”
“Perang, dong?”
“Aku marah! Eh dia lebih galak.”
“Dibalas lagi dong. Jangan didiemin
aja.”
“Gimana caranya?” Tanyanya polos.
“Kamu selingkuh juga.” Jawabku
asal-asalan.
“Bener?”
“Iya. Jangan mau dibohongin,
cowok tu selalu begitu.”
“Lho, Mas sendiri cowok.”
“Makanya, aku tak percaya sama
cowok. Sumpah, sampai sekarang
aku tak pernah pacaran sama
cowok. Hahaha.”
Dia ikut tertawa.
Aku mengambil rokok dari saku
depan kemejaku, menyalakannya.
Diana meminta satu rokokku. Anak
ini badung juga. Sambil merokok,
dia tampak lebih rileks, kakinya
tanpa sadar telah nemplok di
dashboardku. Aku merengut,
hendak marah, tapi tak jadi,
pahanya yang mulus terpampang di
depanku, membuat gondokku
hilang.
Setelah itu aku mulai tertarik
mencuri-curi pandang. Diana tak
sadar, dia memejamkan mata,
menikmati asap rokok yang
mengepul dan keluar melalui jendela
yang terbuka. Gadis ini benar-benar
cantik. Rambutnya panjang.
Tubuhnya indah. Dari baju kaosnya
yang pendek, dapat kulihat putih
mulus perutnya. Dadanya
mengembang sempurna, tegak
berisi.
Tanpa sadar penisku bereaksi.
Aku menyalakan tape mobilku.
Diana memandangku saat sebuah
lagu romantis terdengar.
“Mas, setelah ini mau kemana?”
“Pulang. Kemana lagi?”
“Kita ke pantai saja yuk. Aku suntuk
nih.” Katanya menghembuskan
asap putih dari mulutnya.
“Ngapain”
“Lihat laut, ngedengerin ombak,
ngapain aja deh. Aku males pulang
jadinya. Selalu ingat Ipet, kalau aku
sendirian.”
“Ipet?”
“Pacarku.”
“Oh. Tapi tadi katanya ngantuk?”
“Udah terbang bersama asap.”
Katanya, tubuhnya doyong ke
arahku, melingkarkan lengan ke
bahuku, dadanya menempel di
pangkal tangan kiriku. Hangat.
“Bolehlah.” Kataku, setelah berpikir
kalau besok aku tidak harus pagi-
pagi ke kantor. Jadi setelah
mengantar materi yang kudapat
kepada rekanku yang akan
membuat beritanya, aku dan Diana
menuju arah utara. Ancol! Mana lagi
pantai di Jakarta ini.
Aku parkirkan mobil Kijangku di
pinggir pantai Ancol. Di sana kami
terdiam, mendengarkan ombak,
begitu istilah Diana tadi. Sampai
setengah jam kami hanya berdiam.
Namun kami duduk telah semakin
rapat, sehingga dapat kurasakan
lembutnya tubuh yang ada di
sampingku.
Tiba-tiba Diana mencium pipiku.
“Terima kasih, Mas Ray.”
“Untuk apa?”
“Karena telah mau menemani
Diana.”
Aku hanya diam. Menatapnya. Dia
pun menatapku. Perlahan
menunduk. Kunikmati kecantikan
wajahnya. Tanpa sadar aku raih
wajahnya, dengan sangat perlahan-
lahan kudekatkan wajahku ke
wajahnya, aku cium bibirnya, lalu
aku tarik lagi wajahku agak
menjauh. Aku rasakan hatiku
tergetar, bibirku pun kurasakan
bergetar, begitu juga dengan
bibirnya. Aku tersenyum, dan ia
pun tersenyum. Kami berciuman
kembali. Saat hendak
merebahkannya, setir mobil
menghalang gerakan kami. Kami
berdua pindah ke bangku tengah
Kijangku. Aku cium kening Diana
terlebih dahulu, kemudian kedua
matanya, hidungnya, kedua pipinya,
lalu bibirnya. Diana terpejam dan
kudengar nafasnya mulai agak
terasa memburu, kami berdua
terbenam dalam ciuman yang
hangat membara. Tanganku
memegang dadanya, meremasnya
dari balik kaos tipis dan bhnya.
Sesaat kemudian kaos itu telah
kubuka. Aku arahkan mulutku ke
lehernya, ke pundaknya, lalu turun
ke buah dadanya yang indah, besar,
montok, kencang, dengan puting
yang memerah. Tanganku
membuka kaitan BH hitamnya. Aku
mainkan lidahku di puting kedua
buah dadanya yang mulai
mengeras. Yang kiri lalu yang
kanan.
“Mas Ray, kamu tau saja kelemahan
saya, saya paling nggak tahan kalo
dijilat susu saya…, aahh…”.
Aku pun sudah semakin asyik
mencumbu dan menjilati puting
buah dadanya, lalu ke perutnya,
pusarnya, sambil tanganku
membuka mini skirtnya.
Terpampanglah jelas tubuh
telanjang gadis itu. Celana dalamnya
yang berwarna hitam,
menerawangkan bulu-bulu halus
yang ada di situ. Kuciumi daerah
hitam itu.
Aku berhenti, lalu aku bertanya
kepada Diana
“Diana kamu udah pernah dijilatin
itunya?”
“Belum…, kenapa?”.
“Mau nyoba nggak?”.
Diana mengangguk perlahan.
Takut ia berubah pikiran, tanpa
menunggu lebih lama lagi langsung
aku buka celana dalamnya, dan
mengarahkan mulutku ke kemaluan
Diana yang bulunya lebat,
kelentitnya yang memerah dan
baunya yang khas. Aku keluarkan
ujung lidahku yang lancip lalu kujilat
dengan lembut klitorisnyana.
Beberapa detik kemudian kudengar
desahan panjang dari Diana
“sstt… Aahh!!!”
Aku terus beroperasi di situ
“aahh…, Mas Ray…, gila nikmat
bener…, Gila…, saya baru ngerasain
nih nikmat yang kayak gini…,
aahh…, saya nggak tahan nih…,
udah deh…”
Lalu dengan tiba-tiba ia menarik
kepalaku dan dengan tersenyum ia
memandangku. Tanpa kuduga ia
mendorongku untuk bersandar ke
bangku, dengan sigapnya
tangannya membuka sabuk yang
kupakai, lalu membuka zipper jins
hitamku. Tangannya menggapai
kemaluanku yang sudah menegang
dan membesar dari tadi. Lalu ia
memasukkan batang kemaluanku
yang besar dan melengkung
kedalam mulutnya.
“aahh…” Lenguhku
Kurasakan kehangatan lidah dalam
mulutnya. Namun karena dia
mungkin belum biasa, giginya
beberapa kali menyakiti penisku.
“Aduh Diana, jangan kena gigi
dong…, Sakit. Nanti lecet…”
Kuperhatikan wajahnya, lidahnya
sibuk menjilati kepala kemaluanku
yang keras, ia jilati melingkar, ke kiri,
ke kanan, lalu dengan perlahan ia
tekan kepalanya ke arahku berusaha
memasukkan kemaluanku
semaksimal mungkin ke dalam
mulutnya. Namun hanya
seperempat dari panjang
kemaluanku saja kulihat yang
berhasil terbenam dalam mulutnya.
“Ohk!.., aduh Mas Ray, cuma bisa
masuk seperempat…”
“Ya udah Diana, udah deh jangan
dipaksaain, nanti kamu tersedak.”
Kutarik tubuhnya, dan kurebahkan ia
di seat Kijangku. Lalu ia membuka
pahanya agak lebar, terlihat samar-
samar olehku kemaluannya sudah
mulai lembab dan agak basah. Lalu
kupegang batang kemaluanku, aku
arahkan ke lubang kemaluannya.
Aku rasakan kepala kemaluanku
mulai masuk perlahan, kutekan lagi
agak perlahan, kurasakan sulitnya
kemaluanku menembus lubang
kemaluannya.
Kudorong lagi perlahan,
kuperhatikan wajah Diana dengan
matanya yang tertutup rapat, ia
menggigit bibirnya sendiri,
kemudian berdesah.
“sstt…, aahh…, Mas Ray, pelan-pelan
ya masukkinnya, udah kerasa agak
perih nih…”
Dan dengan perlahan tapi pasti
kudesak terus batang kemaluanku
ke dalam lubang kemaluan Diana,
aku berupaya untuk dengan sangat
hati-hati sekali memasukkan batang
kemaluanku ke lubang vaginanyana.
Aku sudah tidak sabar, pada suatu
saat aku kelepasan, aku dorong
batang kemaluanku agak keras.
Terdengar suara aneh. Aku lihat ke
arah batang kemaluanku dan
kemaluan Diana, tampak olehku
batang kemaluanku baru setengah
terbenam kedalam kemaluannya.
Diana tersentak kaget.
“Aduh Mas Ray, suara apaan tuh?”
“Nggak apa-apa, sakit nggak?”
“Sedikit…”
“Tahan ya.., sebentar lagi masuk
kok…”
Dan kurasakan lubang kemaluan
Diana sudah mulai basah dan agak
hangat. Ini menandakan bahwa
lendir dalam kemaluan Diana sudah
mulai keluar, dan siap untuk
penetrasi. Akhirnya aku desakkan
batang kemaluanku dengan cepat
dan tiba-tiba agar Diana tidak
sempat merasakan sakit, dan
ternyata usahaku berhasil, kulihat
wajah Diana seperti orang yang
sedang merasakan kenikmatan yang
luar biasa, matanya setengah
terpejam, dan sebentar-sebentar
kulihat mulutnya terbuka dan
mengeluarkan suara. “sshh…,
sshh…”
Lidahnya terkadang keluar sedikit
membasahi bibirnya yang sensual.
Aku pun merasakan nikmat yang
luar biasa. Kutekan lagi batang
kemaluanku, kurasakan di ujung
kemaluanku ada yang mengganjal,
kuperhatikan batang kemaluanku,
ternyata sudah masuk tiga
perempat kedalam lubang kemaluan
Diana.
Aku coba untuk menekan lebih jauh
lagi, ternyata sudah mentok…,
kesimpulannya, batang kemaluanku
hanya dapat masuk tiga perempat
lebih sedikit ke dalam lubang
kemaluan Diana. Dan Diana pun
merasakannya.
“Aduh Mas Ray, udah mentok,
jangan dipaksain teken lagi, perut
saya udah kerasa agak negg nih,
tapi nikmat…., aduh…, barangmu
gede banget sih Mas Ray…”
Aku mulai memundur-majukan
pantatku, sebentar kuputar
goyanganku ke kiri, lalu ke kanan,
memutar, lalu kembali ke depan ke
belakang, ke atas lalu ke bawah.
Kurasakan betapa nikmat rasanya
kemaluan Diana, ternyata lubang
kemaluan Diana masih sempit,
walaupun bukan lagi seorang
perawan. Ini mungkin karena
ukuran batang kemaluanku yang
menurut Diana besar, panjang dan
kekar. Lama kelamaan goyanganku
sudah mulai teratur, perlahan tapi
pasti, dan Diana pun sudah dapat
mengimbangi goyanganku, kami
bergoyang seirama, berlawanan
arah, bila kugoyang ke kiri, Diana
goyang ke kanan, bila kutekan
pantatku Diana pun menekan
pantatnya.
Semua aku lakukan dengan sedikit
hati-hati, karena aku sadar betapa
besar batang kemaluanku untuk
Diana, aku tidak mau membuatnya
menderita kesakitan. Dan usahaku
ini berjalan dengan mulus. Sesekali
kurasakan jari jemari Diana
merenggut rambutku, sesekali
kurasakan tangannya mendekapku
dengan erat.
Tubuh kami berkeringat dengan
sedemikian rupa dalam ruangan
mobil yang mulai panas, namun
kami tidak peduli, kami sedang
merasakan nikmat yang tiada tara
pada saat itu. Aku terus
menggoyang pantatku ke depan ke
belakang, keatas kebawah dengan
teratur sampai pada suatu saat.
“Aahh Mas Ray…, agak cepet lagi
sedikit goyangnya…, saya kayaknya
udah mau keluar nih…”
Diana mengangkat kakinya tinggi,
melingkar di pinggangku, menekan
pantatku dengan erat dan beberapa
menit kemudian semakin erat…,
semakin erat…, tangannya sebelah
menjambak rambutku, sebelah lagi
mencakar punggungku, mulutnya
menggigit kecil telingaku sebelah
kanan, lalu terdengar jeritan dan
lenguhan panjang dari mulutnya
memanggil namaku.
“Mas Ray…, aahh…, mmhhaahh…,
Aahh…” Dia kelojotan. Kurasakan
lubang kemaluannya hangat,
menegang dan mengejut-ngejut
menjepit batang kemaluanku.
“aahh…, gila…, Ini nikmat sekali…”
Teriakku.
Baru kurasakan sekali ini lubang
kemaluan bisa seperti ini. Tak lama
kemudian aku tak tahan lagi,
kugoyang pantatku lebih cepat lagi
keatas kebawah dan, Tubuhku
mengejang.
“Mas Ray…, cabut…, keluarin di
luar…”
Dengan cepat kucabut batang
kemaluanku lalu sedetik kemudian
kurasakan kenikmatan luar biasa,
aku menjerit tertahan
“aahh…, ahh…” Aku mengerang.
“Ngghh…, ngghh..”
Aku pegang batang kemaluanku
sebelah tangan dan kemudian
kurasakan muncratnya air maniku
dengan kencang dan banyak sekali
keluar dari batang kemaluanku.
Chrootth…, chrootthh…, crothh…,
craatthh…, sebagian menyemprot
wajah Diana, sebagian lagi ke
payudaranya, ke dadanya, terakhir
ke perut dan pusarnya.
Kami terkulai lemas berdua, sambil
berpelukan.
“Mas Ray…, nikmat banget main
sama kamu, rasanya beda sama
kalo saya gituan sama Ipet. Enakan
sama kamu. Kalau sama Ipet, saya
tidak pernah orgasme, tapi baru
sekali disetubuhi kamu, saya bisa
sampai, barang kali karena barang
kamu yang gede banget ya?”
Katanya sambil membelai batangku
yang masih tegang, namun tidak
sekeras tadi.
“Saya nggak bakal lupa deh sama
malam ini, saya akan inget terus
malem ini, jadi kenangan manis
saya”
Aku hanya tersenyum dengan lelah
dan berkata “Iya Diana, saya juga,
saya nggak bakal lupa”.
Kami pun setelah itu menuju kostku,
kembali memadu cinta. Setelah pagi,
baru aku mengantarnya pulang.
Dan berjanji untuk bertemu lagi lain
waktu.