Koleksi Foto bugil terlengkap, Foto bugil Tante Girang, Foto Bugil Pelajar, Foto Bugil Jilbab, Gambar Memek, Video XXX, Cerita Sex, Foto Bugil Terbaru, Foto Bugil 2014, Video Bokep Indo, Jepang, Barat, Video Streaming
|
WARNING : THIS SITE CONTAINS ADULT
CONTENT, MAKE SURE YOUR AGE ABOVE 18+
YEARS
Cerita ini adalah dramatisasi dari
kisah nyata,
dan merupakan satu dari beberapa
cerita lepas
dengan tokoh utama yang sama.
Antara satu dan
lainnya tidak harus dibaca
berurutan. Ini cerita
yang pertama. Sebut saja namaku
Paul. Aku
bekerja di sebuah instansi
pemerintahan di kota S,
selain juga memiliki sebuah usaha
wiraswasta.
Sebetulnya aku sudah menikah,
bahkan rasanya
istriku tahu akan hobiku mencari
daun-daun muda
untuk "obat awet muda". Dan
memang
pekerjaanku menunjang untuk itu,
baik dari segi
koneksi maupun dari segi finansial.
Namun
semenjak istriku tahu aku memiliki
banyak sekali
simpanan, suatu hari ia
meninggalkanku tanpa
pamit. Biarlah, malah aku bisa lebih
bebas
menyalurkan hasrat. Karena
pembantu yang lama
keluar untuk kawin di desanya, aku
terpaksa
mencari penggantinya di agen.
Bukan saja karena
berbagai pekerjaan rumah
terbengkalai, juga
rasanya kehilangan "obat stress".
Salah seorang
calon yang menarik perhatianku
bernama Ningsih,
baru berusia (hampir) 16 tahun,
berwajah cukup
manis, dengan lesung pipit. Matanya
sedikit sayu
dan bibirnya kecil seksi. Seandainya
kulitnya tidak
sawo matang (meskipun bersih dan
mulus juga),
dia sudah mirip-mirip artis sinetron.
Meskipun
mungil, bodinya padat, dan yang
terpenting, dari
sikapnya aku yakin pengalaman
gadis itu tidak
sepolos wajahnya. Tanpa banyak
tanya, langsung
dia kuterima. Dan setelah beberapa
hari, terbukti
Ningsih memang cukup cekatan
mengurus
rumah. Namun beberapa kali pula
aku
memergokinya sedang sibuk di
dapur dengan
mengenakan kaos ketat dan rok
yang sangat mini.
Tanpa menyia- nyiakan
kesempatan, aku
mendekat dari belakang dan kucubit
paha gadis
itu. Ningsih terpekik kaget, namun
setelah sadar
majikannya yang berdiri di
belakangnya, ia hanya
merengut manja. Sore ini sepulang
kerja aku
kembali dibuat melotot disuguhi
pemandangan
yang 'menegangkan' saat Ningsih
yang hanya
berdaster tipis menungging sedang
mengepel
lantai, pantatnya yang montok
bergoyang kiri-
kanan. Tampak garis celana
dalamnya
membayang di balik dasternya.
Tidak tahan
membiarkan pantat seseksi itu,
kutepuk pantat
Ningsih keras-keras. "Ngepel atau
nyanyi dangdut
sih? Goyangnya kok merangsang
sekali!" Ningsih
terkikik geli mendengar komentarku,
dan kembali
meneruskan pekerjaannya. Dengan
sengaja
pantatnya malah digoyang semakin
keras. Geli
melihat tingkah Ningsih, kupegang
pantat gadis itu
kuat- kuat untuk menahan
goyangannya. Saat
Ningsih tertawa cekikikan, jempolku
sengaja
mengelus selangkangan gadis itu,
menghentikan
tawanya. Karena diam saja,
perlahan kuelus paha
Ningsih ke atas, menyingkapkan
ujung
dasternya."Eh.. Ndoro.. jangan..!"
cegah Ningsih
lirih. "Nggak pa-pa, nggak usah
takut, Nduk..!"
"Jangan, Ndoro.. malu.. jangan
sekarang..!"
Dengan tergesa Ningsih bangkit
membereskan
ember dan kain pel, lalu bergegas
menuju ke
dapur. Malam harinya lewat
intercom aku
memanggil Ningsih untuk memijat
punggungku
yang pegal. Seharian penuh
bersidang memang
membutuhkan stamina yang prima.
Agar
tenagaku pulih untuk keperluan
besok, tidak ada
salahnya memberi pengalaman
pada orang baru.
Gadis itu muncul masih dengan
daster merah
tipisnya sambil membawa minyak
gosok. Ningsih
duduk di atas ranjang di sebelah
tubuhku.
Sementara jemari lentik Ningsih
memijati
punggung, kutanya, "Nduk, kamu
sudah punya
pacar belum..?" "Disini belum
Ndoro.." jawab
gadis itu. "Disini belum..? Berarti di
luar sini
sudah..?" Sambil tertawa malu-
malu gadis itu
menjawab lagi, "Dulu di desa saya
pernah, tapi
sudah saya putus." "Lho, kenapa..?"
"Habis mau
enaknya saja dia." "Mau enaknya
saja gimana..?"
kejarku. "Eh.. itu, ya.. maunya
ngajak gituan terus,
tapi kalau diajak kawin nggak mau."
Aku
membalikkan badan agar dadaku
juga turut dipijat.
"Gituan gimana? Memangnya kamu
nggak suka..?"
Wajah Ningsih memerah, "Ya.. itu..
ngajak
kelonan.. tidur telanjang bareng.."
"Kamu mau
aja..?" "Ih, enggak! Kalau cuma
disuruh ngemut
burungnya saja sih nggak pa-pa.
Mau sampai
selesai juga boleh. Tapi yang lain
Ningsih nggak
mau..!" Aku tertawa, "Lha apa nggak
belepotan..?"
"Ah, enggak. Yang penting Ningsih
juga puas tapi
tetep perawan." Aku semakin
terbahak, "Kalau
kamu juga puas, terus kenapa
diputus..?" "Abis
lama-lama Ningsih kesel! Ningsih
kalau diajak
macem-macem mau, tapi dia diajak
kawin malah
main mata sama cewek lain! Untung
Ningsih cuma
kasih emut aja, jadi sampai
sekarang Ningsih
masih perawan." "Main emut terus
gitu apa kamu
nggak pengin nyoba yang
beneran..?" godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah,
"Eh.. katanya
sakit ya Ndoro..? Terus bisa
hamil..?" Kini Ningsih
berlutut mengangkangi tubuhku
sambil
menggosokkan minyak ke perutku.
Saat gadis itu
sedikit membungkuk, dari balik
dasternya yang
longgar tampak belahan buah
dadanya yang
montok alami tanpa penopang
apapun. Sambil
tanganku mengelus-elus kedua paha
Ningsih yang
terkangkang, aku menggoda, "Kalau
sama Ndoro,
Ningsih ngasih yang beneran atau
cuma
diemut..?" Pipi Ningsih kini merah
padam, "Mmm..
memangnya Ndoro mau sama
Ningsih? Ningsih
kan cuma pembantu? Cuma
pelayan?" "Nah ini
namanya juga melayani. Iya
nggak?" Ningsih
hanya tersenyum malu. "Aaah! Itu
kan cuma
jabatan. Yang penting kan
orangnya..!" "Ehm..,
kalau hamil gimana..?" "Jangan takut
Nduk, kalau
cuma sekali nggak bakalan hamil.
Nanti Ndoro
yang tanggung jawab.." Meskipun
sedikit ragu dan
malu, Ningsih menuruti dan
menanggalkan
dasternya. Sambil meletakkan
pantatnya di atas
pahaku, gadis itu dengan tersipu
menyilangkan
tangannya untuk menutupi
kemontokan kedua
payudaranya. Untuk beberapa saat
aku
memuaskan mata memandangi
tubuh montok
yang nyaris telanjang, sementara
Ningsih dengan
jengah membuang wajah. Dengan
tidak sabaran
kutarik pinggang Ningsih yang
meliuk mulus agar
ia berbaring di sisiku. Seumur hidup
mungkin
baru sekali ini Ningsih merasakan
berbaring di atas
kasur seempuk ini. Langsung saja
kusergap gadis
itu, kuciumi bibirnya yang
tersenyum malu,
pipinya yang lesung pipit,
menggerayangi sekujur
tubuhnya dan meremas- remas
kedua
payudaranya yang kenyal
menggiurkan. Puting
susunya yang kemerahan terasa
keras
mengacung. Kedua payudara gadis
itu tidak terlalu
besar, namun montok pas
segenggaman tangan.
Dan kedua bukit itu berdiri tegak
menantang, tidak
menggantung. Gadis desa ini
memang sedang
ranum- ranumnya, siap untuk
dipetik dan
dinikmati. "Mmmhh.. Oh! Ahh! Oh..
Ndoroo.. eh..
mm.. burungnya.. mau Ningsih
emut dulu
nggak..?" tanya gadis itu diantara
nafasnya yang
terengah-engah. "Lepas dulu celana
dalam kamu
Nduk, baru kamu boleh emut."
Tersipu Ningsih
bangkit, lalu memelorotkan celana
dalamnya
hingga kini gadis itu telanjang bulat.
Perlahan
Ningsih berlutut di sisiku, meraih
kejantananku dan
mendekatkan wajahnya ke
selangkanganku.
Sambil menyibakkan rambutnya,
gadis itu sedikit
terbelalak melihat besarnya
kejantananku. Mungkin
ia membayangkan bagaimana
benda berotot
sebesar itu dapat masuk di
tubuhnya. Aku segera
merasakan sensasi yang luar biasa
ketika Ningsih
mulai mengulum kejantananku,
memainkan
lidahnya dan menghisap dengan
mulut mungilnya
sampai pipinya 'kempot'. Gadis ini
ternyata pintar
membuat kejantananku cepat
gagah. "Ehm.. srrp..
mm.. crup! Ahmm.. mm.. mmh..!
Nggolo
(ndoro)..! Hangang keyas- keyas
(jangan keras-
keras)..! Srrp..!" Gadis itu tergeliat
dan memprotes
ketika aku meraih payudaranya
yang montok dan
meremasinya. Namun aku tak
perduli, bahkan
tangan kananku kini mengelus
belahan pantat
Ningsih yang bulat penuh, terus
turun sampai ke
bibir kemaluannya yang masih
jarang-jarang
rambutnya. Maklum, masih
perawan. Gadis itu
tergelinjang tanpa berani bersuara
ketika jemariku
menyibakkan bibir kemaluannya
dan menelusup
dalam kemaluannya yang masih
perawan. Merasa
kejantananku sudah cukup gagah,
kusuruh
Ningsih mengambil pisau cukur di
atas meja, lalu
kembali ke atas ranjang. Tersipu-
sipu gadis
perawan itu mengambil bantal
berusaha untuk
menutupi ketelanjangannya. Malu-
malu gadis itu
menuruti perintah majikannya
berbaring telentang
menekuk lutut dan merenggangkan
pahanya,
mempertontonkan rambut
kemaluannya yang
hanya sedikit. Tanpa menggunakan
foam,
langsung kucukur habis rambut di
selangkangan
gadis itu, membuat Ningsih
tergelinjang karena
perih tanpa berani menolak. Kini
bibir kemaluan
Ningsih mulus kemerah-merahan
seperti
kemaluan seorang gadis yang
belum cukup umur,
namun dengan payudara yang
kencang. Dengan
sigap aku menindih tubuh montok
menggiurkan
yang telanjang bulat tanpa sehelai
benang pun itu.
Tersipu-sipu Ningsih membuang
wajah dan
menutupi payudaranya dengan
telapak tangan.
Namun segera kutarik kedua tangan
Ningsih ke
atas kepalanya, lalu menyibakkan
paha gadis itu
yang sudah mengangkang. Pasrah
Ningsih
memejamkan mata menantikan
saatnya
mempersembahkan
keperawanannya. Gadis itu
menahan nafas dan menggigit bibir
saat jemariku
mempermainkan bibir kemaluannya
yang basah
terangsang. Perlahan kedua paha
mulus Ningsih
terkangkang semakin lebar. Aku
menyapukan
ujung kejantananku pada bibir
kemaluan gadis itu,
membuat nafasnya semakin
memburu. Perlahan
tapi pasti, kejantananku menerobos
masuk ke
dalam kehangatan tubuh perawan
Ningsih. Ketika
selaput dara gadis manis itu sedikit
menghalangi,
dengan perkasa kudorong terus,
sampai ujung
kejantananku menyodok dasar liang
kemaluan
Ningsih. Ternyata kemaluan gadis ini
kecil dan
sangat dangkal. Kejantananku hanya
dapat masuk
seluruhnya dalam kehangatan
keperawanannya
bila didorong cukup kuat sampai
menekan dasar
kemaluannya. Itu pun segera
terdesak keluar lagi.
Ningsih terpekik sambil tergeliat
merasakan pedih
menyengat di selangkangannya saat
kurenggutkan
keperawanan yang selama ini telah
dijaganya baik-
baik. Tapi gadis itu hanya berani
meremas-remas
bantal di kepalanya sambil
menggigit bibir
menahan sakit. Air mata gadis itu
tak terasa
menitik dari sudut mata,
mengaburkan
pandangannya. Ningsih merintih
kesakitan ketika
aku mulai bergerak menikmati
kehangatan
kemaluannya yang serasa 'megap-
megap' dijejali
benda sebesar itu. Namun rasa sakit
dan pedih di
selangkangannya perlahan tertutup
oleh sensasi
geli-geli nikmat yang luar biasa. Tiap
kali
kejantananku menekan dasar
kemaluannya, gadis
itu tergelinjang oleh ngilu
bercampur nikmat yang
belum pernah dirasakannya.
Kejantananku bagai
diremas-remas dalam liang
kemaluan Ningsih
yang begitu 'peret' dan legit. Dengan
perkasa
kudorong kejantananku sampai
masuk seluruhnya
dalam selangkangan gadis itu,
membuat Ningsih
tergelinjang-gelinjang sambil
merintih nikmat tiap
kali dasar kemaluannya disodok.
"Ahh.. Ndoro..!
Aa.. ah..! Aaa.. ahk..! Oooh..!
Ndoroo.. Ningsih
pengen.. pih.. pipiis..! Aaa.. aahh..!"
Sensasi nikmat
luar biasa membuat Ningsih dengan
cepat
terorgasme. "Tahan Nduk! Kamu
nggak boleh
pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin
kamu, baru
kamu boleh pipis..!" Dengan patuh
Ningsih
mengencangkan otot
selangkangannya sekuat
tenaga berusaha menahan pipis,
kepalanya
menggeleng- geleng dengan mata
terpejam,
membuat rambutnya berantakan,
namun
beberapa saat kemudian.. "Nggak
tahan Ndoroo..!
Ngh..! Ngh..! Nggh! Aaaii.. iik..! Aaa..
aahk..!" Tanpa
dapat ditahan-tahan, Ningsih
tergelinjang-
gelinjang di bawah tindihanku
sambil memekik
dengan nafas tersengal-sengal.
Payudaranya yang
bulat dan kenyal berguncang
menekan dadaku
saat gadis itu memeluk erat tubuh
majikannya,
dan kemaluannya yang begitu rapat
bergerak
mencucup-cucup. Berpura-pura
marah, aku
menghentikan genjotannya dan
menarik
kejantananku keluar dari tubuh
Ningsih. "Dibilang
jangan pipis dulu kok bandel..! Awas
kalau berani
pipis lagi..!" Tampak kejantananku
bersimbah
cairan bening bercampur
kemerahan, tanda gadis
itu betul- betul masih perawan.
Gadis itu mengira
majikannya sudah selesai,
memejamkan mata
sambil tersenyum puas dan
mengatur nafasnya
yang 'senen- kamis'. Di pangkal
paha gadis itu
tampak juga darah perawan menitik
dari bibir
kemaluannya yang perlahan
menutup. Aku
menarik pinggang Ningsih ke atas,
lalu
mendorong sebuah bantal empuk
ke bawah
pantat Ningsih, membuat tubuh
telanjang gadis itu
agak melengkung karena pantatnya
diganjal
bantal. Tanpa basa-basi kembali
kutindih tubuh
montok Ningsih, dan kembali
kutancapkan
kejantananku dalam liang kemaluan
gadis itu.
Dengan posisi pantat terganjal,
klentit Ningsih yang
peka menjadi sedikit mendongak.
Sehingga ketika
aku kembali melanjutkan tusukanku,
gadis itu
tergelinjang dan terpekik merasakan
sensasi yang
bahkan lebih nikmat lagi dari yang
barusan. "Mau
terus apa brenti, Nduk..?" godaku.
"Aii.. iih..! He..
eh..! Terus Ndoroo..! Enak..! Enak..!
Aahh.. Aii..
iik..!" Tubuh Ningsih yang montok
menggiurkan
tergelinjang-gelinjang dengan
nikmat dengan
nafas tersengal-sengal diantara
pekikan-pekikan
manjanya. "Ooo.. ohh..! Ndoroo..,
Ningsih pengen
pipis.. lagii.. iih..!" "Yang ini ditahan
dulu..! Tahan
Nduk..!" "Aa.. aak..! Ampuu..
unnhh..! Ningsih
nggak kuat.. Ndoroo..!" Seiring
pekikan manjanya,
tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas
ranjang
empuk. Pekikan manja Ningsih
semakin keras
setiap kali tubuh telanjangnya
tergerinjal saat
kusodok dasar liang kegadisannya,
membuat
kedua pahanya tersentak
mengangkang semakin
lebar, semakin mempermudah aku
menikmati
tubuh perawannya. Dengan gemas
sekuat tenaga
kuremas-remas kedua payudara
Ningsih hingga
tampak berbekas kemerah-
merahan. Begitu
kuatnya remasanku hingga cairan
putih susu
menitik keluar dari putingnya yang
kecoklatan.
"Ahhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit
Ndoroo..!
Ningsih mau pipiiss..!" Dengan
maksud menggoda
gadis itu, aku menghentikan
sodokannya dan
mencabut kejantanannya justru
disaat Ningsih
mulai orgasme. "Mau pipis Nduk..?"
tanyaku pura-
pura kesal. "Oohh.. Ndoroo.. terusin
dong..! Cuma
'dikit, nggak pa-pa kok..!" rengek
gadis itu manja.
"Kamu itu nggak boleh pipis
sebelum Ndoro
pipisin kamu, tahu..?" aku terus
berpura-pura
marah. Tampak bibir kemaluan
Ningsih yang
gundul kini kemerah-merahan dan
bergerak
berdenyut. "Enggak! Enggak kok!
Ningsih enggak
berani Ndoro..!" Ningsih memeluk
dan berusaha
menarik tubuhku agar kembali
menindih
tubuhnya. Rasanya sebentarlagi
gadis itu mau
pipis untuk ketiga kalinya. "Kalau
sampai pipis lagi,
Ndoro bakal marah, lho Nduk..?"
kuremas kedua
buah dada montok Ningsih. "Engh..
Enggak.
Nggak berani." Wajah gadis itu
berkerut menahan
pipis. "Awas kalau berani..!"
kukeraskan
cengkeraman tangannya hingga
payudara gadis
itu seperti balon melotot dan cairan
putih susu
kembali menetes dari putingnya.
"Ahk! Aah..!
Nggak berani, Ndoro..!" Ningsih
menggigit bibir
menahan sakitnya remasan-
remasanku yang
bukannya dilepas malah semakin
kuat dan cepat.
Namun gadis itu segera merasakan
ganjarannya
saat kejantananku kembali
menghajar
kemaluannya. Tak ayal lagi, Ningsih
kembali
tergiur tanpa ampun begitu dasar
liang
kemaluannya ditekan kuat. "Ngh..!
Ngh..! Ngghh..!
Ahk.. Aaa.. aahh..! Ndoroo..
ampuu.. uun..!"
Tubuh montok gadis itu tergerinjal
seiring pekikan
manjanya. Begitu cepatnya Ningsih
mencapai
puncak membuat aku semakin
gemas menggeluti
tubuh perawannya. Tanpa ampun
kucengkeram
kedua bukit montok yang berdiri
menantang di
hadapanku dan meremasinya
dengan kuat,
meninggalkan bekas kemerahan di
kulit payudara
Ningsih. Sementara genjotan demi
genjotan
kejantananku menyodok kemaluan
gadis itu yang
hangat mencucup-cucup
menggiurkan, bagai
memohon semburan puncak. Gadis
itu sendiri
sudah tak tahu lagi mana atas mana
bawah,
kenikmatan luar biasa tidak henti-
hentinya
memancar dari selangkangannya.
Rasanya seperti
ingin pipis tapi nikmat luar biasa
membuat Ningsih
tidak sadar memekik- mekik manja.
Kedua
pahanya yang sehari- hari biasanya
disilangkan
rapat-rapat, kini terkangkang lebar,
sementara
liang kemaluannya tanpa dapat
ditahan-tahan
berdenyut mencucup kejantananku
yang begitu
perkasa menggagahinya. Sekujur
tubuh gadis itu
basah bersimbah keringat. "Hih!
Rasain! Dibilang
jangan pipis! Mau ngelawan ya..!"
Gemas
kucengkeram kedua buah dada
Ningsih erat- erat
sambil menghentakkan
kejantananku sejauh
mungkin dalam kemaluan dangkal
gadis itu.
Ningsih tergelinjang- gelinjang tidak
berdaya tiap
kali dasar kemaluannya disodok.
Pantat gadis itu
yang terganjal bantal empuk
berulangkali tersentak
naik menahan nikmat. "Oooh..
Ndoroo..! Ahk..!
Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..!
Ampuu..
unn..!" Ningsih merintih memohon
ampun tidak
sanggup lagi merasakan kegiuran
yang tidak
kunjung reda. Begitu lama
majikannya
menggagahinya, seolah tidak akan
pernah selesai.
Tidak terasa air matanya kembali
berlinang
membasahi pipinya. Kedua tangan
gadis itu
menggapai- gapai tanpa daya, paha
mulusnya
tersentak terkangkang tiap kali
kemaluannya dijejali
kejantananku, nafasnya tersengal
dan terputus-
putus. Bagian dalam tubuhnya
terasa ngilu
disodok tanpa henti. Putus asa
Ningsih merengek
memohon ampun, majikannya
bagai tak kenal
lelah terus menggagahi
kegadisannya. Bagi gadis
itu seperti bertahun-tahun ia telah
melayani
majikannya dengan pasrah.
Menyadari kini Ningsih
sedang terorgasme
berkepanjangan, aku tarik
paha Ningsih ke atas hingga
menyentuh
payudaranya dan merapatkannya.
Akibatnya
kemaluan gadis itu menjadi semakin
sempit
menjepit kejantananku yang terus
menghentak
keluar masuk. Ningsih berusaha
kembali
mengangkang, namun dengan
perkasa semakin
kurapatkan kedua paha mulusnya.
Mata Ningsih
yang bulat terbeliak dan berputar-
putar,
sedangkan bibirnya merah merekah
membentuk
huruf 'O' tanpa ada suara yang
keluar. Sensasi
antara pedih dan nikmat yang luar
biasa di
selangkangannya kini semakin
menjadi-jadi. Aku
semakin bersemangat
menggenjotkan
kejantananku dalam hangatnya
cengkeraman
pangkal paha Ningsih, membuat
gadis itu terpekik-
pekik nikmat dengan tubuh
terdorong menyentak
ke atas tiap kali kemaluannya
disodok keras. "Hih!
Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!" aku
semakin
geram merasakan kemaluan Ningsih
yang begitu
sempit dan dangkal seperti
mencucup-cucup
kejantananku. "Ahh..! Ampuu..uun..
ampun..
Ndoro! Aduh.. sakiit.. ampuu.. un..!"
Begitu
merasakan kenikmatan mulai
memuncak, dengan
gemas kuremas kedua payudara
Ningsih yang
kemerah-merahan berkilat
bersimbah keringat dan
cairan putih dari putingnya,
menumpukan seluruh
berat tubuhku pada tubuh gadis itu
dengan kedua
paha gadis itu terjepit di antara
tubuh kami,
membuat tubuh Ningsih melesak
dalam
empuknya ranjang. Pekikan tertahan
gadis itu,
gelinjangan tubuhnya yang padat
telanjang dan
'peret'- nya kemaluannya yang
masih perawan
membuatku semakin hebat
menggeluti gadis itu.
"Aduh! Aduu.. uuhh.. sakit Ndoro!
Aaah.. aamm..
aammpuun.. ampuu.. uun Ndoro..
Ningsih.. pipii..
iis! Aaamm.. puun..!" Dan akhirnya
kuhujamkan
kejantananku sedalam- dalamnya
memenuhi
kemaluan Ningsih, membuat tubuh
telanjang
gadis itu terlonjak dalam tindihanku,
namun
tertahan oleh cengkeraman
tanganku pada kedua
buah dada Ningsih yang halus
mulus. Tanpa dapat
kutahan, kusemburkan sperma
dalam cucupan
kemaluan Ningsih yang hangat
menggiurkan
sambil dengan sekuat tenaga
meremas-remas
kedua buah dada gadis itu,
membuat Ningsih
tergerinjal antara sakit dan nikmat.
"Ahk! Auh..!
Aaa.. aauuhh! Oh.. ampuu..uun
Ndoro! Terus
Ndoro..! Ampuun! Amm.. mmh..!
Aaa.. aakh..!"
Dengan puas aku menjatuhkan
tubuh di sisi tubuh
Ningsih yang sintal, membuat gadis
itu turut
terguling ke samping, namun
kemudian gadis itu
memeluk tubuhku. Sambil terisak-
isak bahagia,
Ningsih memeluk tubuhku dan
mengelus- elus
punggungku. Sambil mengatur
nafas, aku berpikir
untuk menaikkan gaji Ningsih
beberapa kali lipat,
agar gadis itu betah bekerja di sini,
dan dapat
melayaniku setiap saat. Dengan
tubuh yang masih
gemetar dan lemas, Ningsih
perlahan turun dari
ranjang dan mulai melompat-
lompat di samping
ranjang. Keheranan aku bertanya,
"Ngapain kamu,
Nduk..?" "Katanya.. biar nggak hamil
harus
lompat.. lompat, Ndoro.." jawab
gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak- bahak
mendengarnya,
melihat cairan kental meleleh dari
pangkal paha
gadis itu yang mulus tanpa sehelai
rambut pun.