Koleksi Foto bugil terlengkap, Foto bugil Tante Girang, Foto Bugil Pelajar, Foto Bugil Jilbab, Gambar Memek, Video XXX, Cerita Sex, Foto Bugil Terbaru, Foto Bugil 2014, Video Bokep Indo, Jepang, Barat, Video Streaming
|
WARNING : THIS SITE CONTAINS ADULT
CONTENT, MAKE SURE YOUR AGE ABOVE 18+
YEARS
Sejak setelah menikah, ibu tinggal
di rumah kecil kami beberapa
bulan sambil menunggu
bangunan rumah baru mereka
selesai. Lagi-lagi, rumah baru
mereka tidak jauh dari bengkel
ayah. Ayah menolak tinggal di
rumah tante Tina karena alasan
pribadi ayah. Setelah banyak
process yang dilakukan antara
ayah dan ibu, akhirnya bengkel
tempat ayah bekerja, kini menjadi
milik ayah dan ibu sepenuhnya.
Ayah pernah memohon kepada
ibu agar dia ingin tetap dapat
bekerja di bengkel, dan terang
saja bengkel itu langsung ibu
putuskan untuk dibeli saja.
Maklum ibu adalah ‘business-
minded person’. Aku semakin
sayang dengan ibu, karena pada
akhirnya cita-cita ayah untuk
memiliki bengkel sendiri
terkabulkan. Kini bengkel ayah
makin besar setelah ibu ikut
berperan besar di sana. Banyak
renovasi yang mereka lakukan
yang membuat bengkel ayah
tampak lebih menarik.
Pelanggan ayah makin
bertambah, dan kali ini banyak
dari kalangan orang-orang kaya.
Ayah tidak memecat pegawai-
pegawai lama di sana, malah
menaikkan gaji mereka dan
memperlakukan mereka seperti
saat dia diperlakukan oleh pemilik
bengkel yang lama.
Kehidupan dan gaya hidupku &
ayah benar-benar berubah 180
derajat. Kini ayah sering
melancong ke luar negeri
bersama ibu, dan aku sering
ditinggal di rumah sendiri dengan
pembantu. Alasan aku ditinggal
mereka karena aku masih harus
sekolah.
Ibu sering mengundang teman-
teman lamanya bermain di
rumah. Salah satu temannya
bernama tante Ani. Tante Ani saat
itu hanya 15 tahun lebih tua
dariku. Semestinya dia pantas aku
panggil kakak daripada tante,
karena wajahnya yang masih
terlihat seperti orang berumur 20
tahunan. Tanti Ani adalah
pelanggan tetap salon kecantikan
ibu, dan kemudian menjadi
teman baik ibu.
Wajah tante Ani tergolong cantik
dengan kulitnya yang putih
bersih. Dadanya tidak begitu
besar, tapi pinggulnya indah
bukan main. Maklum anak orang
kaya yang suka tandang ke salon
kecantikan. Tante Ani sering main
ke rumah dan kadang kala
ngobrol atau gossip dengan ibu
berjam-jam. Tidak jarang tante
Ani keluar bersama kami
sekeluarga untuk nonton bioskop,
window shopping atau ngafe di
mall.
Aku pernah sempat bertanya
tentang kehidupan pribadi tante
Ani. Ibu bercerita bahwa tante Ani
itu bukanlah janda cerai atau
janda apalah. Tapi tante Ani
sempat ingin menikah, tapi
ternyata pihak dari laki-laki
memutuskan untuk mengakhiri
pernikahan itu. Alasan-nya tidak
dijelaskan oleh ibu, karena
mungkin aku masih terlalu muda
untuk mengerti hal-hal seperti ini.
Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-
lagi cabut dari rumah. Tapi kali ini
mereka tidak ke luar negeri, tapi
hanya melancong ke kota
Bandung saja selama akhir pekan.
Lagi-lagi hanya aku dan
pembantu saja yang tinggal di
rumah. Saat itu aku ingin sekali
kabur dari rumah, dan menginap
di rumah teman. Tiba-tiba bel
rumah berbunyi dan waktu itu
masih jam 5:30 sore di hari
Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam
yang lalu berangkat ke Bandung.
Aku pikir mereka kembali ke
rumah mengambil barang yang
ketinggalan.
Sewaktu pintu rumah dibuka oleh
pembantu, suara tante Ani
menyapanya. Aku hanya duduk
bermalas-malasan di sofa ruang
tamu sambil nonton acara TV.
Tiba-tiba aku disapanya.
“Bernas kok ngga ikut papa
mama ke Bandung?” tanya tante
Ani.
“Kalo ke Bandung sih Bernas
malas, tante. Kalo ke Singapore
Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke
Singapore. Tante ada apartment
di sana” tungkas tante Ani.
Aku pun hanya menjawab apa
adanya “Ok deh. Ntar kita pigi
rame-rame aja. Tante ada perlu
apa dengan mama? Nyusul aja ke
Bandung kalo penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman
pengen ajak mamamu makan
aja. Yah sekarang tante bakalan
makan sendirian nih. Bernas mau
ngga temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di
mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen
makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante.
Di sono kan banyak pilihan, ntar
kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam
berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih
belon laper. Jam 7 aja berangkat.
Tante duduk aja dulu.”
Kami berdua nonton
bersebelahan di sofa yang
empuk. Sore itu tante Ani
mengenakan baju yang lumayan
sexy. Dia memakai rok ketat
sampai 10 cm di atas lutut, dan
atasannya memakai baju
berwarna orange muda tanpa
lengan dengan bagian dada atas
terbuka (kira-kira antara 12 sampai
15cm kebawah dari pangkal
lehernya). Kaki tante Ani putih
mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai
pun. Mungkin karena dia rajin
bersalon ria di salon ibu, paling
tidak seminggu 2 kali. Bagian dada
atasnya juga putih mulus. Kami
nonton TV dengan acara/channel
seadanya saja sambil menunggu
sampai jam 7 malam. Kami juga
kadang-kadang ngobrol santai,
kebanyakan tante Ani suka
bertanya tentang kehidupan
sekolahku sampai menanyakan
tentang kehidupan cintaku di
sekolah. Aku mengatakan kepada
tante Ani bahwa aku saat itu
masih belum mau terikat dengan
masalah percintaan jaman SMA.
Kalo naksir sih ada, cuma aku
tidak sampai mengganggap
terlalu serius.
Semakin lama kami berbincang-
bincang, tubuh tante Ani semakin
mendekat ke arahku. Bau parfum
Chanel yg dia pakai mulai tercium
jelas di hidungku. Tapi aku tidak
mempunyai pikiran apa-apa saat
itu.
Tiba-tiba tante Ani berkata,
“Bernas, kamu suka dikitik-kitik
ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?”
tante Ani menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake
cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu
aja” tundas tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan
kotor. Abis buat bersih-bersih
ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu
Bernas. Kan cuman ambil 1 helai
bulunya aja. Lagian kamu masih
belum mandi kan? Jorok mana
hayo!” tangkas tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti
demen. Sini baring kepalanya di
paha tante.” lanjutnya.
Seperti sapi dicucuk hidungnya,
aku menurut saja dengan tingkah
polah tante Ani. Ternyata
memang benar adanya, telinga
‘dikitik-kitik’ dengan bulu
kemucing benar-benar enak tiada
tara. Baru kali itu aku merasakan
enaknya, serasa nyaman dan
pengen tidur aja jadinya. Dan
memang benar, aku jadi tertidur
sampe sampai jam sudah
menunjukkan pukul 7 lewat.
Suara lembut membisikkan
telingaku.
“Bernas, bangun yuk. Tante dah
laper nih.” kata tante.
“Erghhhmmm … jam berapa
sekarang tante.” tanyaku dengan
mata yang masih setengah
terbuka.
“Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo
bangun, tante dah laper. Kamu
dari tadi asyik tidur tinggalin tante.
Kalo dah enak jadi lupa orang
kamu yah.” kata tante sambil
mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante …
makan di rumah aja yah? Suruh
mbak masak atau beli mie ayam
di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-
jalan juga kok. Bosen dari tadi
bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit
lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper
banget, mau pingsan dah.”
Sambil malas-malasan aku
bangun dari sofa. Kulihat tante Ani
sedang membenarkan posisi
roknya kembali. Alamak gaya
tidurku kok jelek sekali sih sampe-
sampe rok tante Ani tersingkap
tinggi banget. Berarti dari tadi aku
tertidur di atas paha mulus tante
Ani, begitulah aku berpikir. Ada
rasa senang juga di dalam hati.
Setelah mencuci muka, ganti
pakaian, kita berdua berpamitan
kepada pembantu rumah kalau
kita akan makan keluar. Aku
berpesan kepada pembantu agar
jangan menunggu aku pulang,
karena aku yakin kita pasti bakal
lama. Jadi aku membawa kunci
rumah, untuk berjaga-jaga
apabila pembantu rumah sudah
tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil tante
dong.”
“Ogah ah, Bernas cuman mau
setir Baby Benz tante. Kalo yang
ini males ah.” candaku. Waktu itu
tante Ani membawa sedan
Honda, bukan Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga
mau setir ini, bawa itu Benz-nya
mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut
ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.”
jawab tante Ani sambil tertawa
kemenangan.
Mobil melaju menyusuri jalan-
jalan kota Jakarta. Tante Ani
seperti bebek saja, ngga pernah
stop ngomong and gossipin
teman-temannya. Aku jenuh
banget yang mendengar. Dari
yang cerita pacar teman-
temannya lah, sampe ke mantan
tunangannya. Sesampai di daerah
Muara Karang, aku memutuskan
untuk makan bakmi bebeknya
yang tersohor di sana. Untung
tante Ani tidak protes dengan
pilihan saya, mungkin karena
sudah terlalu lapar dia.
Setelah makan, kita mampir ke
tempat main bowling. Abis main
bowling tante Ani mengajakku
mampir ke rumahnya. Tante Ani
tinggal sendiri di apartemen di
kawasan Taman Anggrek. Dia
memutuskan untuk tinggal sendiri
karena alasan pribadi juga. Ayah
dan ibu tante Ani sendiri tinggal di
Bogor. Saat itu aku tidak tau apa
pekerjaan sehari-hari tante Ani,
yang tante Ani tidak pernah
merasa kekurangan materi.
Apartemen tante Ani lumayan
bagus dengan tata interior yang
classic. Di sana tidak ada siapa-
siapa yang tinggal di sana selain
tante Ani. Jadi aku bisa maklum
apabila tante Ani sering keluar
rumah. Pasti jenuh apabila tinggal
sendiri di apartemen.
“Anggap rumah sendiri Bernas.
Jangan malu-malu. Kalau mau
minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Bernas mau yang
ini.” sambil menunjuk botol
Hennessy V.S.O.P yang masih
disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah
umur kamu.” cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun.
Mestinya ngga masalah” jawabku
dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah.
Tapi jangan buka yang baru, tante
punya yang sudah dibuka
botolnya.”.
Tiba-tiba suara tante Ani
menghilang dibalik master
bedroomnya. Aku menganalisa
ruangan sekitarnya. Banyak
lukisan-lukisan dari dalam dan
luar negeri terpampang di
dinding. Lukisan dalam negerinya
banyak yang bergambarkan
wajah-wajah cantik gadis-gadis
Bali. Lukisan yang berbobot
tinggi, dan aku yakin pasti bukan
barang yang murahan.
“Itu tante beli dari seniman lokal
waktu tante ke Bali tahun lalu” kata
tante Ani memecahkan suasana
hening sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget.
Pasti mahal yah?!” jawabku
kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak
pernah menawar harga dengan
seniman itu, karena seni itu
mahal. Kalo tante tidak cocok
dengan harga yang dia tawarkan,
tante pergi saja.”
Aku masih menyibukkan diri
mengamati lukisan-lukisan yang
ada, dan tante Ani tidak bosan
menjelaskan arti dari lukisan-
lukisan tersebut. Tante Ani
ternyata memiliki kecintaan tinggi
terhadap seni lukis.
“Ok deh. Kalo begitu Bernas mau
pamit pulang dulu tante. Dah
hampir jam 11 malam. Tante
istirahat aja dulu yah.” kataku.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di
sini. Tante juga masih belum
ngantuk. Temenin tante bentar
yah.” mintanya sedikit memohon.
Aku juga merasa kasihan dengan
keadaan tante Ani yang tinggal
sendiri di apartemen itu. Jadi aku
memutuskan untuk tinggal 1 atau
2 jam lagi, sampai nanti tante Ani
sudah ingin tidur.
“Kita main UNO yuk?!” ajak tante
Ani.
“Apa itu UNO?!” tanyaku
penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main
UNO yah?” tanya tante Ani. Aku
hanya menggeleng-gelengkan
kepala.
“Wah kamu kampung boy
banget sih.” canda tante Ani. Aku
hanya memasang tampak
cemburut canda.
Tante Ani masuk ke kamarnya
lagi untuk membawa kartu UNO,
dan kemudian masuk ke dapur
untuk mempersiapkan hidangan
bersama minuman. Tante Ani
membawa kacang mente asin,
segelas wine merah, dan 1 gelas
Hennessy V.S.O.P on rock (pake
es batu). Setelah mengajari aku
cara bermain UNO, kamipun
mulai bermain-main santai sambil
makan kacang mente. Hennesy
yang aku teguk benar-benar
keras, dan baru 2 atau 3 teguk
badanku terasa panas sekali. Aku
biasanya hanya dikasih 1 sisip saja
oleh ayah, tapi ini skrg aku
minum sendirian.
Kepalaku terasa berat, dan
mukaku panas. Melihat kejadian
ini, tante Ani menjadi tertawa, dan
mengatakan bahwa aku bukan
bakat peminum. Terang aja, ini
baru pertama kalinya aku minum
1 gelas Hennessy sendirian.
“Tante, anterin Bernas pulang
yah. Kepala ogut rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar
ngga tambah pusing.” jawab
tante Ani.
Aku merasa tante Ani berusaha
mencegahku untuk pulang ke
rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti
sapi dicucuk hidung-nya, apa
yang tante Ani minta, aku selalu
menyetujuinya. Melihat tingkahku
yang suka menurut, tante Ani
mulai terlihat lebih berani lagi. Dia
mengajakku main kartu biasa
saja, karena bermain UNO kurang
seru kalau hanya berdua. Paling
tepat untuk bermain UNO itu
berempat.
Tapi permainan kartu ini menjadi
lebih seru lagi. Tante mengajak
bermain blackjack, siapa yang
kalah harus menuruti permintaan
pemenang. Tapi kemudian tante
Ani ralat menjadi ‘Truth & Dare’
game. Permainan kami menjadi
seru dan terus terang aja tante
Ani sangat menikmati permainan
‘Truth & Dare’, dan dia sportif
apabila dia kalah. Pertama-tama
bila aku menang dia selalu
meminta hukuman dengan
‘Truth’ punishment, lama-lama
aku menjadi semakin berani
menanyakan yang bukan-bukan.
Sebaliknya dengan tante Ani, dia
lebih suka memaksa aku untuk
memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih
leluasa mengerjaiku. Dari yang
disuruh pushup 1 tangan, menari
balerina, menelan es batu
seukuran bakso, dan lain-lain.
Mungkin juga tidak ada pointnya
buat tante Ani menanyakan the
‘Truth’ tentang diriku, karena
kehidupanku terlihat lurus-lurus
saja menurutnya.
Ini adalah juga kesempatan untuk
menggali the ‘Truth’ tentang
kehidupan pribadinya. Aku pun
juga heran kenapa aku menjadi
tertarik untuk mencari tahu
kehidupannya yang sangat
pribadi. Mula-mula aku bertanya
tentang mantan tunangannya,
kenapa sampai batal
pernikahannya. Sampai
pertanyaan yang menjurus ke
seks seperti misalnya kapan
pertama kali dia kehilangan
keperawanan. Semuanya tanpa
ragu-ragu tante Ani jawab semua
pertanyaan-pertanyaan pribadi
yang aku lontarkan.
Kini permainan kami semakin wild
dan berani. Tante Ani
mengusulkan untuk
mengkombinasikan ‘Truth & Dare’
dengan ‘Strip Poker’. Aku pun
semakin bergairah dan
menyetujui saja usul tante Ani.
“Yee, tante menang lagi. Ayo
lepas satu yang menempel di
badan kamu.” kata tante Ani
dengan senyum kemenangan.
“Jangan gembira dulu tante, nanti
giliran tante yang kalah. Jangan
nangis loh yah kalo kalah.”
jawabku sambil melepas kaus
kakiku.
Selang beberapa lama … “Nahhh,
kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi
… lepas lagi.”. Tante Ani kelihatan
gembira sekali. Kemudian aku
melepas kalung emas pemberian
ibu yang aku kenakan.
“Ha ha ha … two pairs, punya
tante one pair. Yes yes … tante
kalah sekarang. Ayo lepas lepas
…” candaku sambil tertawa
gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas
anting tante.” jawab tante sambil
melepas anting-anting yang
dikenakannya.
Aku makin bernapsu untuk
bermain. Mungkin bernapsu
untuk melihat tante Ani bugil juga.
Aku pengen sekali menang terus.
“Full house … yeahhh … kalah lagi
tante. Ayo lepas … ayo lepas …”.
Aku kini menari-nari gembira.
Terlihat tante Ani melepas jepit
rambut merahnya, dan aku
segera saja protes “Loh, curang
kok lepas yang itu?”.
“Loh, kan peraturannya lepas
semuanya yang menempel di
tubuh. Jepit tante kan nempel di
rambut dan rambut tante melekat
di kepala. Jadi masih dianggap
menempel dong.” jawabnya
membela.
Aku rada gondok mendengar
pembelaan tante Ani. Tapi itu
menjadikan darahku bergejolak
lebih deras lagi.
“Straight … Bernas … One Pair …
Yes tante menang. Ayo lepas!
Jangan malu-malu!” seru tante Ani
girang. Aku pun segera melepas
jaket aku yang kenakan. Untung
aku selalu memakai jaket tipis biar
keluar malam. Lihatlah
pembalasanku, kataku dalam hati.
“Bernas Three kind … tante … one
pair … ahhh … lagi-lagi tante
kalah” sindirku sambil tersenyum.
Dan tanpa diberi aba-aba dan
tanpa malu-malu, tante melepas
baju atasannya. Aku serentak
menelan ludah, karena baju
atasan tante telah terlepas dan kini
yang terlihat hanya BH putih
tante. Belahan payudara-nya
terlihat jelas, putih bersih. Bernas
junior dengan serentak langsung
menegang, dan kedua mataku
terpaku di daerah belahan
dadanya.
“Hey, lihat kartu dong. Jangan liat
di sini.” canda tante sambil
menunjuk belahan dadanya. Aku
kaget sambil tersenyum malu.
“Yes Full House, kali ini tante
menang. Ayo buka … buka”.
Tampak tante Ani girang banget
bisa dia menang. Kali ini aku lepas
atasanku, dan kini aku terlanjang
dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih.
Badan kekar dan hebat. Coba
buktikan kalo hokinya juga hebat.”
sindir tante Ani sambil
tersenyum.
Setelah menegak habis wine yang
ada di gelasnya, tante Ani
kemudian beranjak dari tempat
duduknya menuju ke dapur
dengan keadaan dada setengah
terlanjang. Tak lama kemudian
tante Ani membawa sebotol wine
merah yang masih 3/4 penuh
dan sebotol V.S.O.P yang masih
1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini.
Minum sepuas-puasnya.” ucap
tante Ani.
Kami saling ber-tos ria dan
kemudian melanjutkan kembali
permainan strip poker kami.
“Yesss … ” seruku dengan
girangnya pertanda aku menang
lagi.
Tanpa disuruh, tante Ani melepas
rok mininya dan aduhaiii, kali ini
tante Ani hanya terliat
mengenakan BH dan celana
dalam saja. Malam itu dia
mengenakan celana dalam yang
kecil imut berwarna pink cerah.
Tidak tampak ada bulu-bulu pubis
disekitar selangkangannya. Aku
sempat berpikir apakah tante Ani
mencukur semua bulu-bulu
pubisnya.
Muka tante Ani sedikit memerah.
Kulihat tante Ani sudah menegak
abis gelas winenya yang kedua.
Apakah dia berniat untuk mabuk
malam ini? Aku kurang sedikit
perduli dengan hal itu. Aku hanya
bernafsu untuk memenangkan
permainan strip poker ini, agar
aku bisa melihat tubuh terlanjang
tante Ani.
“Yes, yes, yes …” senyum
kemenangan terlukis indah di
wajahku.
Tante Ani kemudian
memandangkan wajahku selang
beberapa saat, dan berkata
dengan nada genitnya “Sekarang
Bernas tahan napas yah. Jangan
sampai seperti kesetrum listrik
loh”. Kali ini tante Ani melepaskan
BH-nya dan serentak jatungku
ingin copot. Benar apa kata tante
Ani, aku seperti terkena setrum
listrik bertegangan tinggi. Dadaku
sesak, sulit bernapas, dan
jantungku berdegup kencang.
Inilah pertama kali aku melihat
payudara wanita dewasa secara
jelas di depan mata. Payudara
tante Ani sungguh indah dengan
putingnya yang berwarna coklat
muda menantang.
“Aih Bernas, ngapain liat susu
tante terus. Tante masih belum
kalah total. Mau lanjut ngga?”
tanya tante Ani. Aku hanya bisa
menganggukkan kepala pertanda
‘iya’.
“Pertama kali liat susu cewek yah?
Ketahuan nih. Dasar genit kamu.”
tambah tante Ani lagi. Aku sekali
lagi hanya bisa mengangguk
malu.
Aku menjadi tidak berkonsentrasi
bermain, mataku sering kali
melirik kedua payudaranya dan
selangkangannya. Aku penasaran
sekali ada apa dibalik celana dalam
pinknya itu. Tempat di mana
menurut teman-teman sekolah
adalah surga dunia para lelaki.
Aku ingin sekali melihat
bentuknya dan kalo bisa
memegang atau meraba-raba.
Akibat tidak berkonsentrasi main,
kali ini aku yang kalah, dan tante
Ani meminta aku melepas celana
yang aku kenakan. Kini aku
terlanjang dada dengan hanya
mengenakan celana dalam saja.
Tante Ani hanya tersenyum-
senyum saja sambil menegak
wine-nya lagi. Aku sengaja
menolak tawaran tante Ani untuk
menegak V.S.O.P-nya, dengan
alasan takut pusing lagi.
Karena kami berdua hanya tinggal
1 helai saja di tubuh kami,
permainan kali ini ada finalnya.
Babak penentuan apakah tante Ani
akan melihat aku terlanjang bulat
atau sebaliknya. Aku berharap
malam itu malaikat
keberuntungan berpihak
kepadaku.
Ternyata harapanku sirna, karena
ternyata malaikat keberuntungan
berpihak kepada tante Ani. Aku
kecewa sekali, dan wajah
kekecewaanku terbaca jelas oleh
tante Ani. Sewaktu aku akan
melepas celana dalamku dengan
malu-malu, tiba-tiba tante Ani
mencegahnya.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau
celana dalam mu dulu. Tante mau
Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo
game-nya cepat habis kayak
begini” kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi,
tante Ani terdiam sejenak
kemudian tersenyum genit.
Senyum genitnya ini lebih
menantang daripada yang
sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk …
hmmm … cium bibir tante
sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau?
Jijik ama tante?” tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas
belum pernah soalnya.” jawabku
malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante
dong. Sekalian pelajaran pertama
buat Bernas.” kata tante Ani.
Tanpa berpikir ulang, aku mulai
mendekatkan wajahku ke wajah
tante Ani. Tante Ani kemudian
memejamkan matanya.
Pertamanya aku hanya
menempelkan bibirku ke bibir
tante Ani. Tante Ani diam
sebentar, tak lama kemudian
bibirnya mulai melumat-lumat
bibirku perlahan-lahan. Aku mulai
merasakan bibirku mulai basah
oleh air liur tante Ani. Bau wine
merah sempat tercium di
hidungku.
Aku pun tidak mau kalah, aku
berusaha menandinginya dengan
membalas lumatan bibir tante
Ani. Maklum ini baru pertama,
jadi aku terkesan seperti anak kecil
yang sedang melumat-lumat ice
cream. Selang beberapa saat, aku
kaget dengan tingkah baru tante
Ani. Tante Ani dengan serentak
menjulurkan lidahnya masuk ke
dalam mulutku. Anehnya aku
tidak merasa jijik sama sekali,
malah senang dibuatnya. Aku
temukan lidahku dengan lidah
tante Ani, dan kini lidah kami
kemudian saling berperang di
dalam mulutku dan terkadang
pula di dalam mulut tante Ani.
Kami saling berciuman bibir dan
lidah kurang lebih 5 menit
lamanya. Nafasku sudah tak
karuan, dah kupingku panas
dibuatnya. Tante Ani seakan-akan
menikmati betul ciuman ini. Nafas
tante Ani pun masih teratur, tidak
ada tanda sedikitpun kalau dia
tersangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita
sambung lagi pokernya” ajak
tante Ani.
Aku pun mulai mengocok
kartunya, dan pikiranku masih
terbayang saat kita berciuman.
Aku ingin sekali lagi mencium
bibir lembutnya. Kali ini aku
menang, dan terang saja aku
meminta jatah sekali lagi
berciuman dengannya. Tante Ani
menurut saja dengan
permintaanku ini, dan kami pun
saling berciuman lagi. Tapi kali ini
hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman terus
dong. Ntar Bernas bosan ama
tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante.
Ternyata asyik juga yah ciuman.”
jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik,
kalo mau sih …” seru tante Ani
kemudian terputus. Kalimat tante
Ani ini masih menggantung
bagiku, seakan-akan dia ingin
mengatakan sesuatu yang
menurutku sangat penting. Aku
terbayang-bayang untuk bermain
‘gila’ dengan tante Ani malam itu.
Aku semakin berani dan menjadi
sedikit tidak tau diri. Aku punya
perasaan kalo tante Ani sengaja
untuk mengalah dalam bermain
poker malam itu. Terang aja aku
menang lagi kali ini. Aku sudah
terburu oleh napsuku sendiri, dan
aku sangat memanfaatkan situasi
yang sedang berlangsung.
“Bernas menang lagi tuh. Jangan
minta ciuman lagi yah. Yang lain
dong …” sambut tante Ani sambil
menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku
sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen emut-
emut susu tante Ani.” jawabku
tidak tau malu.
Ternyata wajah tante Ani tidak
tampak kaget atau marah, malah
balik tersenyum kepadaku sambil
berkata “Sudah tante tebak apa
yang ada di dalam pikiran kamu,
Bernas.”.
“Boleh kan tante?!” tanyaku
penasaran. Tante Ani hanya
mengangguk pertanda setuju.
Kemudian aku dekatkan wajahku
ke payudara sebelah kanan tante
Ani. Bau parfum harum yang
menempel di tubuhnya tercium
jelas di hidungku. Tanpa ragu-
ragu aku mulai mengulum puting
susu tante Ani dengan lembut.
Kedua telapak tanganku berpijak
mantap di atas karpet ruang tamu
tante Ani, memberikan fondasi
kuat agar wajahku tetap bebas
menelusuri payudara tante Ani.
AKu kulum bergantian puting
kanan dan puting kiri-nya.
Kuluman yang tante Ani dapatkan
dariku memberikan sensasi
terhadap tubuh tante Ani. Dia
tampak menikmati setiap hisapan-
hisapan dan jilatan-jilatan di
puting susu-nya. Nafas tante Ani
perlahan-lahan semakin
memburu, dan terdengar
desahan dari mulutnya. Kini aku
bisa memastikan bahwa tante Ani
saat ini sedang terangsang atau
istilah modern-nya ‘horny’.
“Bernasss … kamu nakal banget
sih! … haahhh … Tante kamu
apain?” bisik tante Ani dengan
nada terputus-putus. Aku tidak
mengubris kata-kata tante Ani,
tapi malah semakin bersemangat
memainkan kedua puting
susunya. Tante Ani tidak
memberikan perlawanan
sedikitpun, malah seolah-olah
seperti memberikan lampu hijau
kepadaku untuk melakukan hal-
hal yang tidak senonoh terhadap
dirinya.
Aku mencoba mendorong tubuh
tante Ani perlahan-lahan agar dia
terbaring di atas karpet. Ternyata
tante Ani tidak menahan/menolak,
bahkan tante Ani hanya pasrah
saja. Setelah tubuhnya terbaring
di atas karpet, aku menghentikan
serangan gerilyaku terhadap
payudara tante Ani. Aku perlahan-
lahan menciumi leher tante Ani,
dan oh my, wangi betul leher
tante Ani. Tante Ani memejamkan
kedua matanya, dan tidak
berhenti-hentinya mendesah. Aku
jilat lembut kedua telinganya,
memberikan sensasi dan getaran
yang berbeda terhadap tubuhnya.
Aku tidak mengerti mengapa
malam itu aku seakan-akan tau
apa yang harus aku lakukan,
padahal ini baru pertama kali
seumur hidupku menghadapi
suasana seperti ini.
Kemudian aku melandaskan
kembali bibirku di atas bibir tante
Ani, dan kami kembali berciuman
mesra sambil berperang lidah di
dalam mulutku dan terkadang di
dalam mulut tante Ani. Tanganku
tidak tinggal diam. Telapak tangan
kiriku menjadi bantal untuk kepala
belakang tante Ani, sedangkan
tangan kananku meremas-remas
payudara kiri tante Ani.
Tubuh tante Ani seperti cacing
kepanasan. Nafasnya terengah-
engah, dan dia tidak
berkonsentrasi lagi berciuman
denganku. Tanpa diberi
komando, tante Ani tiba-tiba
melepas celana dalamnya sendiri.
Mungkin saking ‘horny’-nya, otak
tante Ani memberikan instinct
bawah sadar kepadanya untuk
segera melepas celana dalamnya.
Aku ingin sekali melihat kemaluan
tante Ani saat itu, namun tante
Ani tiba-tiba menarik tangan
kananku untuk mendarat di
kemaluannya.
“Alamak …”, pikirku kaget.
Ternyata kemaluan/memek tante
Ani mulus sekali. Ternyata semua
bulu jembut tante Ani dicukur
abis olehnya. Dia menuntun jari
tengahku untuk memainkan
daging mungil yang menonjol di
memeknya. Para pembaca pasti
tau nama daging mungil ini yang
aku maksudkan itu. Secara
umum daging mungil itu
dinamakan biji etil atau biji etel
atau itil saja. Aku putar-putar itil
tante Ani berotasi searah jarum
jam atau berlawanan arah jarum
jam. Kini memek tante Ani mulai
basah dan licin.
“Bernasss … kamu yah …
aaahhhh … kok berani ama tante?”
tanya tante Ani terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan
Bernas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh
Bernasss … Bernasss … kamu kok
nakal?” tanya tante Ani lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?”
candaku gemas dengan tingkah
tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …”
suara tante Ani mulai serak-serak
basah.
Aku tetap memainkan itil tante
Ani, dan ini membuatnya
semakin menggeliat hebat. Tak
lama kemudian tante Ani menjerit
kencang seakaan-akan terjadi
gempa bumi saja. Tubuhnya
mengejang dan kuku-kuku
jarinya sempat mencakar bahuku.
Untung saja tante Ani bukan tipe
wanita yang suka merawat kuku
panjang, jadi cakaran tante Ani
tidak sakit buatku.
“Bernasss … tante datangggg
uhhh oohhh …” erang tante Ani.
Aku yang masih hijau waktu itu
kurang mengerti apa arti kata
‘datang’ waktu itu. Yang pasti
setelah mengatakan kalimat itu,
tubuh tante Ani lemas dan
nafasnya terengah-engah.
Dengan tanpa di beri aba-aba, aku
lepas celana dalamku yang masih
saja menempel. Aku sudah lupa
sejak kapan batang penisku tegak.
Aku siap menikmati tubuh tante
Ani, tapi sedikit ragu, karena takut
akan ditolak oleh tante Ani.
Keragu-raguanku ini terbaca oleh
tante Ani. Dengan lembutnya
tante Ani berkata, “Bernas, kalo
pengen tidurin tante, mendingan
cepetan deh, sebelon gairah tante
habis. Tuh liat kontol Bernas dah
tegak kayak besi. Sini tante
pegang apa dah panas.”.
Aku berusaha mengambil posisi
diatas tubuh tante. Gaya bercinta
traditional. Perlahan-lahan
kuarahkan batang penisku ke
mulut vagina tante Ani, dan
kucoba dorong penisku perlahan-
lahan. Ternyata tidak sulit
menembus pintu kenikmatan
milik tante Ani. Selain mungkin
karena basahnya dinding-dinding
memek tante Ani yang
memuluskan jalan masuk
penisku, juga karena mungkin
sudah beberapa batang penis
yang telah masuk di dalam sana.
“Uhhh … ohhh … Bernasss …
ahhh …” desah tante Ani.
Aku coba mengocok-kocok
memek tante Ani dengan penisku
dengan memaju-mundurkan
pinggulku. Tante Ani terlihat
semakin ‘horny’, dan mendesah
tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh
Bernasss … geliiii tante … uhhh …
ohhhh …” desah tante Ani.
Di saat aku sedang asyik memacu
tubuh tante Ani, tiba-tiba aku
disadarkan oleh permintaan tante
Ani, sehingga aku berhenti
sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau
keluar belum … ” tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin
beberapa saat lagi … ” jawabku
serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah,
jangan di dalam. Tante mungkin
lagi subur sekarang, dan tante
lupa suruh kamu pake
pengaman. Lagian tante ngga
punya stock pengaman sekarang.
Jadi jangan dikeluarin di dalam
yah.” pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam
… goyangin lagi dong …” canda
tante Ani genit.
Tanpa menunda banyak waktu
lagi, aku lanjutkan kembali
permainan kami. Aku bisa
merasakan memek tante Ani
semakin basah saja, dan aku pun
bisa melihat bercak-bercak lendir
putih di sekitar bulu jembutku.
Aku mulai berkeringat di
punggung belakangku. Muka dan
telingaku panas. Tante Ani pun
juga sama. Suara erangan dan
desahan-nya makin terdengar
panas saja di telingaku. Aku tidak
menyadari bahwa aku sudah
berpacu dengan tante Ani 20
menit lama-nya. Tanda-tanda
akan adanya sesuatu yang
bakalan keluar dari penisku
semakin mendekat saja.
“Bernasss … ampunnn Bernasss
… kontolnya kok kayak besi aja …
ngga ada lemasnya dari tadi …
tante geliii banget nihhh …” kata
tante Ani.
“Tante … Bernasss dah sampai
ujung nih …” kataku sambil
mempercepat goyangan
pinggulku.
Puting tante Ani semakin terlihat
mencuat menantang, dan kedua
payudara pun terlihat mengeras.
Aku mendekatkan wajahku ke
wajah tante Ani, dan bibir kami
saling berciuman. Aku julur-
julurkan lidahku ke dalam
mulutnya, dan lidah kami saling
berperang di dalam. Posisi
bercinta kami tidak berubah sejak
tadi. Posisiku tetap di atas tubuh
tante Ani.
Aku percepat kocokan penisku di
dalam memek tante Ani. Tante
Ani sudah menjerit-jerit dan
meracau tak karuan saja.
“Bernasss … tante datangggg …
uhhh … ahhhhhh …” jerit tante
Ani sambil memeluk erat
tubuhku. Ini pertanda tante Ani
telah ‘orgasme’.
Aku pun juga sama, lahar panas
dari dalam penisku sudah siap
akan menyembur keluar. Aku
masih ingat pesan tante Ani agar
spermaku dilepas keluar dari
memek tante Ani.
“Tante … Bernassss datangggg …”
jeritku panik. Kutarik penisku dari
dalam memek tante Ani, dan
penisku memuncratkan
spermanya di perut tante Ani.
Saking kencangnya, semburan
spermaku sampai di dada dan
leher tante Ani.
“Ahhh … ahhhh … ahhhh …”
suara jeritan kepuasanku.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi
spermanya banyak bangettt sih
…” canda tante Ani. Aku hanya
tersenyum saja. Aku tidak sempat
mengomentari candaan tante Ani.
Setelah semua sperma telah
tumpah keluar, aku merebahkan
tubuhku di samping tubuh tante
Ani. Kepalaku masih teriang-iang
dan nafasku masih belum stabil.
Mataku melihat ke langit-langit
apartment tante Ani. Aku baru
saja menikmati yang namanya
surga dunia.
Tante Ani kemudian memelukku
manja dengan posisi kepalanya di
atas dadaku. Bau harum
rambutku tercium oleh hidungku.
“Bernas puas ngga?” tanya tante
Ani.
“Bukan puas lagi tante … tapi
Bernas seperti baru saja masuk ke
surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?”
canda tante Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku
percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku
penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir
sendiri aja … yang pasti memek
tante sekarang ini masih
berdenyut-denyut rasanya.
Diapain emang ama Bernas?”
tanya tante Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas
Junior … tuh tante liat jembut
Bernas banyak bercak-bercak
lendir. Itu punya dari memek
tante tuh. Banjir keluar tadi.”
kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela
tante Ani sambil mencubit
penisku yang sudah mulai loyo.
“Bernas sering-sering datang ke
rumah tante aja. Nanti kita main
poker lagi. Mau kan?” pinta tante
Ani.
“Sippp tante.” jawabku serentak
girang.
Malam itu aku nginap di rumah
tante Ani. Keesokan harinya aku
langsung pulang ke rumah. Aku
sempat minta jatah 1 kali lagi
dengan tante Ani, namum
ajakanku ditolak halus olehnya
karena alasan dia ada janji dengan
teman-temannya.
Sejak saat itu aku menjadi teman
seks gelap tante Ani tanpa
sepengetahuan orang lain
terutama ayah dan ibu. Tante Ani
senang bercinta yang bervariasi
dan dengan lokasi yang bervariasi
pula selain apartementnya sendiri.
Kadang bermain di mobilnya, di
motel kilat yang hitungan charge-
nya per jam, di ruang VIP spa
kecantikan ibuku (ini aku berusaha
keras untuk menyelinap agar tidak
diketahui oleh para pegawai di
sana). Tante Ani sangat menyukai
dan menikmati seks. Menurut
tante Ani seks dapat membuatnya
merasa enak secara jasmani dan
rohani, belum lagi seks yang
teratur sangatlah baik untuk
kesehatan. Dia pernah
menceritakan kepadaku tentang
rahasia awet muda bintang film
Hollywood tersohor bernama
Elizabeth Taylor, yah jawabannya
hanya singkat saja yaitu seks dan
diet yang teratur.
Tante Ani paling suka ‘bermain’
tanpa kondom. Tapi dia pun juga
tidak ingin memakai sistem pil
sebagai alat kontrasepsi karena dia
sempat alergi saat pertama
mencoba minum pil kontrasepsi.
Jadi di saat subur, aku diharuskan
memakai kondom. Di saat setelah
selesai masa menstruasinya, ini
adalah saat di mana kondom
boleh dilupakan untuk sementara
dulu dan aku bisa sepuasnya
berejakulasi di dalam memeknya.
Apabila di saat subur dan aku/
tante Ani lupa menyetok kondom,
kita masih saja nekat bermain
tanpa kondom dengan
berejakulasi di luar (meskipun ini
rawan kehamilannya tinggi juga).
Hubungan gelap ini sempat
berjalan hampir 4 tahun lamanya.
Aku sempat memiliki perasaan
cinta terhadap tante Ani. Maklum
aku masih tergolong remaja/
pemuda yang gampang terbawa
emosi. Namun tante Ani
menolaknya dengan halus karena
apabila hubunganku dan tante Ani
bertambah serius, banyak pihak
luar yang akan mencaci-maki atau
mengutuk kami. Tante Ani
sempat menjauhkan diri setelah
aku mengatakan cinta padanya
sampai aku benar-benar ‘move
on’ dari-nya. Aku lumayan patah
hati waktu itu (hampir 1.5 tahun),
tapi aku masih memiliki akal sehat
yang mengontrol perasaan sakit
hatiku. Saat itu pula aku cuti
‘bermain’ dengan tante Ani.
Saat ini aku masih berhubungan
baik dengan tante Ani. Kami
kadang-kadang menyempatkan
diri untuk ‘bermain’ 2 minggu
sekali atau kadang-kadang 1 bulan
sekali. Tergantung dari mood
kami masing-masing. Tante Ani
sampai sekarang masih single.
Aku untuk sementara ini juga
masih single. Aku putus dengan
pacarku sekitar 6 bulan yang lalu.
Sejak putus dengan pacarku,
tante Ani sempat menjadi
pelarianku, terutama pelarian
seks. Sebenarnya ini tidak benar
dan kasihan tante Ani, namun
tante Ani seperti mengerti tingkah
laku lelaki yang sedang patah hati
pasti akan mencari seorang
pelarian. Jadi tante Ani tidak
pernah merasa bahwa dia adalah
pelarianku, tapi sebagai seorang
teman yang ingin membantu
meringkankan beban perasaan
temannya